//]]> CADAR BUKANLAH PAKAIAN TERORIS ATAU RADIKAL - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

February 09, 2020


Spirit Muslim. Cadar merupakan kain tambahan yang digunakan oleh perempuan Muslim untuk menutup wajahnya, sehingga yang terlihat hanya kedua bola matanya saja. Penggunaan cadar ini pada dasarnya merupakan budaya Arab yang sudah ada sejak zaman dulu bahkan jauh sebelum Islam datang. Namun seiring perkembangan waktu, kini cadar digunakan oleh perempuan Muslim dengan tujuan untuk menutup wajahnya agar tidak menjadi fitnah bagi bukan mahram yang melihatnya. Meskipun demikian tidak serta merta memakai cadar menjadi wajib, akan tetapi masih ada perbedaan pendapat antar ulama perihal ini.

Fenomena cadar kini menjadi perbincangan hangat ditengah masyarakat Indonesia, Pasalnya orang yang memakai cadar diidentikkan dengan ajaran radikalisme sehingga diantara mereka ada yang mendapat perlakuan sentimen negatif dari orang-orang disekitar mereka. Namun tidak sedikit pula sebagian masyarakat membela wanita yang memakai cadar ini sebagai bentuk toleransi antar masyarakat.

Fenomena cadar yang identik dengan teroris dan radikal ini yang harus diluruskan dan ditelaah lebih lanjut, agar kecurigaan terhadap wanita bercadar tidak menjerumuskan seseorang kepada islamophobia. Lantas bagaimana sudut pandang yang benar terhadap fenomena cadar ini ? Apakah cadar identik dengan radikalisme dan terorisme ? Apakah anti dengan cadar termasuk islamophobia ? Lantas bagaimana menyikapi seseorang yang bercadar ? Berikut penjelasan selengkapnya.

ASAL USUL CADAR

Cadar dalam budaya Arab disebut juga Burqa’ atau Niqab. Cadar merupakan sebuah penutup yang terbuat dari kain yang berfungsi menutup wajah seseorang kecuali kedua bola matanya. Dalam kamus bahasa Arab, seperti Al-‘Ain, Jamharatul Lughah, Tahdzibul Lughah, dan Lisanul ‘Arab menyebutkan bahwa Burqa’ merupakan penutup wajah perempuan Arab Badui  sehingga yang terlihat hanya tinggal dua bola matanya saja.

Cadar pada dasarnya sebuah penutup wajah yang telah ada sejak zaman pra Islam, bahkan Abdul Halim Abu Syuqqah dalam An-Niqab fi Syariat al-Islam disebutkan bahwa cadar sudah dipakai oleh para perempuan sejak zaman Jahiliyyah, khususnya sejak zaman Imperium Assyria kuno di kawasan Mesopotamia.

Tradisi memakai cadar ini kemudian berlangsung hingga zaman Byzanthium dan populer pada masa Imperium Persia. Setelah kedua raksasa ini berhasil ditaklukkan pasukan Islam budaya cadar tersebut kemudian diadopsi masyarakat Muslim Arab dan timur tengah pada umumnya.

Puncaknya disosialisasikan oleh para penguasa Kesultanan Mamluk di Mesir (sekitar abad ke-13 M) yang membuat peraturan wajib mengenakan cadar bagi setiap perempuan di area publik. Hingga kemudian mazhab Hanbali yang secara spesifik memberikan aturan tentang bercadar ini.

Mekipun cadar telah ada sejak zaman Jahiliyyah, namun keberadaan cadar ini tidak serta merta ditentang oleh oleh Rasulullah S.A.W. Dalam hal pemakaian cadar ini, Rasulullah S.A.W tidak melarang bahkan juga tidak menganjurkan.

Dalam hadis riwayat Ibn Majah dari Aisyah, bahwa ia berkata, “Pada saat Nabi S.A.W sampai di Madinah dimana saat itu beliau menikahi Shafiyyah binti Huyay perempuan-perempuan Anshar datang mengabarkan tentang kedatangan Nabi. Lalu saya (Aisyah) menyamar dan mengenakan Niqab kemudian ikut menyambutnya. Lalu Nabi menatap kedua mataku dan mengenaliku. Aku memalingkan wajah sembari  menghindar dan berjalan cepat, kemudian Nabi menyusulku”. (H.R. Ibnu Majah).

Dari riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa Niqab sebagai salah satu bentuk atau jenis pakaian di masa awal Islam memang sudah ada. Hanya saja pakaian ini terbilang cukup langka dalam kehidupan sosial umat Islam (perempuan) baik di Makkah maupun Madinah. Oleh karenanya, dalam riwayat-riwayat tersebut dalam rentetan redaksi kata “niqab” hampir selalu terdapat kata “tanakkur” (menyamarkan diri dari orang lain). Jadi, niqab yang disebutkan dalam redaksi riwayat di atas adalah sebuah wasilah untuk “tanakkur” dimana pakaian tersebut pakaian khusus yang digunakan oleh sejumlah perempuan Arab pra Islam saat keluar  dari Makkah ataupun Madinah.


CADAR DALAM SYARIAT HUKUM ISLAM.

Keberadaan cadar dalam Islam bukanlah hal yang tabu, pasalnya hal demikian telah diaplikasikan oleh masyarakat jauh sebelum Islam datang. Akan tetapi perihal pemakaian cadar ini masih terdapat perbedaan pendapat antar ulama. Ulama madzhab Syafi’i yang menjadi madzhab terbesar di Indonesia saja masih memiliki silang pendapat perihal pemakaian cadar ini.

Pendapat pertama menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful awla, menyalahi yang utama karena yang afdhal adalah tidak bercadar.

 وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ ، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا ، وَقِيل : هُوَ سُنَّةٌ ، وَقِيل : هُوَ خِلاَفُ الأَوْلَى 

Artinya:
“Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).

Terlepas dari berbagai pendapat diatas, pemakaian cadar pada dasarnya adalah upaya agar seorang wanita menjaga auratnya dengan sempurna, perbedaan pendapat ini haruslah disikapi dengan bijak, dengan tidak memandang sebuah dalil dari satu sisi semata.

CADAR BUKAN BERARTI TERORIS ATAU RADIKAL.

Madzhab Hambali merupakan madzhab yang paling merekomendasikan pemakaian cadar ini, karena memang mayoritas masyarakat Arab menganut madzhab tersebut. Maka tidak mengherankan jika pemakaian cadar terlihat dominan di Arab saudi dan beberapa kawasan di timur tengah. Meskipun secara jelas madzhab Hambali yang menganjurkan pemakaian cadar ini, namun tidak serta merta masyarakat Arab Saudi mengikutinya, karena pada kenyataannya ada sebagian dari masyarakat Arab menggunakan cadar sebagai identitas dari budaya mereka saja.

Dalam konteks penggunaan cadar ini tidak hanya masyarakat Muslim yang memakainya, kenyataannya perempuan yahudi ortodoks dan kristen ortodoks juga memakainya kendati tidak semua memakainya.

Di Indonesia sendiri, pengguna cadar termasuk dalam golongan minoritas, karena memang masih sedikit yang memakainya. Selain karena madzhab yang berbeda hal ini juga dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat indonesia yang lebih memilih memakai hijab karena dinilai lebih mudah digunakan dalam beraktivitas.

Hal yang cukup disayangkan, bahwa fenomena saat ini menyudutkan wanita bercadar bahwa seseorang yang bercadar identik dengan kelompok radikal bahkan teroris. Sebagian dari tuduhan itu nampaknya cukup beralasan, karena seseorang yang bercadar diidentikkan dengan doktrin pemahaman Islam secara mendalam.

Namun perlu digarisbawahi disini bahwa doktrin semacam itu apalagi yang berhubungan dengan ajaran jihad seolah-olah digiring oleh sekelompok orang untuk memfitnah agama Islam dengan menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran terorisme melalui fenomena cadar ini. Doktrin jihad yang salah ini kemudian disebarluaskan sehingga membuat orang lain berpikir bahwa Islam adalah agama radikal yang menghalalkan pembunuhan terhadap non muslim.

Selain itu fenomena ini juga diperparah dengan adanya segelintir “oknum” yang mengidentifikasikan diri mereka dengan Islam kemudian melakukan aksi terorisme yang kebetulan saat terjadi penangkapan, istri dari pelaku biasa menggunakan cadar sehingga muncullah stigma negatif bahwa wanita bercadar termasuk golongan berpaham radikal atau teroris. Hal-hal semacam inilah yang semakin memperparah citra kaum wanita yang bercadar sehingga orang-orang yang berada di dekat mereka memiliki kesan negatif tentang kehadiran mereka.

Penggiringan opini semacam ini jelas merugikan umat Islam terlebih kaum wanita yang bercadar, pasalnya hal ini akan menimbulkan kecurigaan yang berlebihan terhadap mereka sekalipun tujuan mereka hanya ingin menutup aurat. Stigma negatif seperti ini nampaknya yang akan semakin merongrong keutuhan bangsa karena mereka yang bercadar mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Sudah selayaknya wanita yang bercadar mendapat perlakuan yang sama didalam masyarakat sebagai bentuk solidaritas dalam bermasyarakat.

Perlu adanya sikap yang bijak dan arif dalam menyikapi fenomena cadar ini, kewaspadaan mungkin perlu, namun dalam koridor batas yang wajar. Lebih-lebih di negara Indonesia yang mengakui adanya demokrasi, maka sudah sepatutnya kebebasan dalam berpakaian dilindungi oleh negara. Jangan hanya karena seseorang bercadar lantas dengan mudah mengasosiasikannya dengan teroris sehingga mengakibatkan seseorang menjadi Islamophobia.

0 comments:

Post a Comment