//]]> HAKIM YANG ADIL DAN BIJAKSANA AKAN SELAMAT DUNIA AKHIRAT - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

June 21, 2019


Spirit Muslim. Dalam Islam istilah Hakim disebut juga sebagai Qadhi, adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam menjelaskan hukum Allah S.W.T kepada umat Islam. Proses menjelaskan hukum-hukum Allah ini sendiri disebut dengan Qadha'. Memangku jabatan menjadi seorang Hakim bukanlah perkara yang mudah, seorang hakim memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk menegakkan sebuah keadilan di sebuah negara.


Seorang Qadhi juga dituntut untuk mampu meredam perselisihan dan berbagai perkara secara adil dan bijaksana. Keadilan adalah hal mutlak yang harus senantiasa tertanam dalam diri seorang Qadhi/hakim pasalnya seorang Qadhi mengemban tugas untuk menegakkan kebenaran di dunia untuk kemaslahatan umat manusia. Maka tidak mengherankan jika semua keputusan yang ia putuskan akan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat. Allah S.W.T berfirman dalam Surat An-Nisa’ Ayat 135:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah S.W.T. Biarpun terhadap dirimu sendiri, atau Ibu Bapakmu dan Kaum Kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah S.W.T adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (Q.S. An-Nisa’: 135).

TANGGUNG JAWAB QADHI/HAKIM.

Tanggung jawab seorang Qadhi/hakim memegang peranan yang cukup penting, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang yang ia adili, hakim merupakan penentu atas benar salahnya seseorang atau sebuah perkara, disinilah peran penting seorang Hakim. Seorang Hakim yang mampu berlaku adil dan bijak dalam mengambil keputusan maka selamatlah ia dari siksa neraka, sebaliknya jika seorang hakim menghakimi seseorang dengan cara yang tidak benar serta menghancurkan hak-hak orang lain, maka sungguh siksa neraka amatlah pedih. Untuk itulah Nabi S.A.W memberikan peringatan terhadap seorang Qadhi/hakim dalam mengambil keputusan karena perkara ini menyangkut keadilan bagi orang banyak. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ بُرَيْدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ قَاضِيَانِ فِي النَّارِ وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ

Artinya:
Dari Buraidah r.a bahwa Nabi S.A.W bersabda, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga, 1) seseorang yang menghukumi secara tak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka, 2) seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka, dan 3) seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga.” (H.R. Tirmidzi No. 1244).

Dari hadits diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Tanggung jawab Hakim di dunia dan akhirat
Dalam hadits ini Rasulullah S.A.W menegaskan demikian besarnya tanggung jawab seorang Hakim dalam memutuskan perkara yang dihadirkan dihadapannya. Bahkan tanggung jawab yang dia emban dalam keputusannya tersebut bernilai dunia dan akhirat. Bernilai dunia karena yang ia putuskan menyangkut perkara orang lain dan seorang hakim dituntut harus memberikan keputusan yang seadil-adilnya untuk kemaslahatan bersama. Bernilai akhirat karena kelak apa yang ia putuskan akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah S.W.T di hari penghakiman kelak. Oleh karenanya, jika seorang Hakim tidak mampu memberikan sebuah keadilan dan kebijakan yang sesuai, maka pastilah kekacauan dan kesengsaraan akan merajalela di muka bumi ini.

2. Kepentingan akhirat lebih utama dari kepentingan dunia
Tidak hanya manusia biasa yang amalnya dipertanggung jawabkan diakhirat kelak, akan tetapi seorang Hakim sekalipun kelak keputusannya akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Allah S.W.T. Untuk itulah sangat tidak layak jika seorang Hakim mengambil keputusan yang tidak adil dan berat sebelah, lebih-lebih karena iming-iming harta yang ingin ia kejar, karena sesungguhnya harta tersebut tidak akan menolongnya di akhirat kelak, yang ada hanya pertanggungjawaban kepada Allah S.W.T atas keputusan yang ia ambil saat mengadili seseorang atau sebuah perkara tersebut semasa di dunia.

SYARAT MENJADI QADHI/HAKIM.

Dalam syari’at hukum Islam, jabatan Qadhi/hakim merupakan jabatan yang diperoleh dari pemberian yang telah memenuhi kualifikasi serta kriteria tertentu, bukanlah jabatan yang diperoleh dengan meminta atau mengajukan diri menjadi Qadhi/Hakim, karena beban seorang Qadhi/hakim tidak main-main dan amatlah besar bagi kemaslahatan manusia. Di antara syarat dan adab seorang hakim antara lain:

1. Adil.
tidak segan dengan orang yang bersengketa, melainkan tetap harus bersikap adil. Hakim tidak boleh menerima pemberian dari orang yang sedang berperkara, yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani.

2. Tidak berambisi mendapatkan jabatan Qadhi/hakim.
Karena jabatan hakim risikonya tinggi, seseorang tidak boleh berambisi mendapatkannya. Barangsiapa yang berambisi terhadap jabatan itu, ia tidak akan mendapat taufik dari  Allah S.W.T.  Demikian juga Allah akan mencabut keberkahan dari akal dan hatinya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, ”Barangsiapa memangku jabatan hakim berarti ia telah disembelih dengan tanpa menggunakan pisau.(Riwayat  Abu Dawud dan Tirmizi).

3. memahami hukum Islam dengan baik.
Hal ini sesuai dengan firman Allah, ”Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut pengaturan yang diturunkan Allah.(Q.S. Al-Maidah: 49). Orang Islam yang Fasiq masih diperselisihkan oleh para ulama tentang kebolehannya menjadi Hakim. Namun, yang lebih utama dalam mengatasi polemik yang terjadi ditetapkan persyaratan lain, yaitu seorang hakim harus bertindak dan memiliki sifat adil, meskipun terhadap dirinya sendiri.

4. memiliki panca indera yang normal.
Seseorang yang rusak penglihatan dan pendengarannya tidak akan dapat menjalankan fungsi dan kompetensinya sebagai Hakim. Mata dan telinga merupakan alat yang vital bagi hakim untuk melihat, mengamati, dan mendengar berbagai alat bukti dan peristiwa yang terjadi selama persidangan. Persyaratan-persyaratan diatas diperlukan guna terselenggaranya peradilan yang berwibawa, objektif, dan berorientasi kepada tegaknya supermasi hukum, sehingga akan melahirkan kepastian hukum dalam syariat Islam.

5.Jeli dalam menangani setiap kasus. 
Keputusan yang tergesa-gesa bisa mengakibatkan kekeliruan.  Jika ini terjadi berarti ia telah menghilangkan hak seseorang dan memberikannya kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya. Karena itu, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan sedang marah, sangat lapar dan haus, sedang sangat susah atau sangat gembira, sakit,  menahan buang air yang sangat dan mengantuk.

6. tidak memberikan keputusan sebelum mendengar laporan dari kedua belah pihak.
Sebuah keputusan yang hanya berdasar pada satu pihak merupakan tindak kejahatan dalam pengadilan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallah bersabda, “Jika ada dua orang mengajukan suatu perkara kepadamu maka janganlah engkau memutuskan hukum kepada orang pertama hingga engkau mendengar perkataan orang kedua, niscaya engkau akan mengetahui bagaimana engkau memutuskan hukum.(H.R. Tirmidzi).

BEBAN SEORANG QADHI/HAKIM.

Memutuskan perkara dengan kebenaran dan keadilan bukanlah perkara mudah. Karena itu membutuhkan ilmu, keteguhan hati, keberanian dan kekuatan. Dari sini kita mengetahui, mengapa banyak ulama Salaf tidak mau menjadi Hakim, bahkan sebagian mereka lari meninggalkan kotanya untuk menghindari jabatan Hakim. Beratnya memangku jabatan Hakim digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- “مَنْ جُعِلَ قَاضِياً بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ

Artinya:
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah S.A.W bersabda, “Barangsiapa dijadikan Hakim di antara manusia, maka sesungguhnya dia disembelih tanpa menggunakan pisau.” (H.R. Ahmad, no. 7145; Abu Daud, no. 3572; Tirmizi, no. 1325; Ibnu Majah, no. 2308. Dishahihkan  oleh Syaikh Albani, Ahmad Syakir, Syu’aib al-Arnauth, dll).

Imam As-Sindi rahimahullah menjelaskan tentang makna ‘dia disembelih tanpa menggunakan pisau’, “Yang dimaksudkan adalah bahwa dia disembelih dengan penyembelihan yang berat, karena penyembelihan dengan pisau lebih mudah bagi hewan sembelihan, berbeda dengan tanpa pisau.”

Atau yang dimaksudkan adalah bahwa dia disembelih dengan penyembelihan yang tidak menyebabkan kematian fisik, namun penyembelihan itu menjadikannya tidak mati juga tidak mati, karena bukan penyembelihan yang menggunakan pisau sampai mati, tetapi dia tidak selamat dari penyembelihan sehingga tetap tidak hidup (nyaman).

Ada juga yang mengatakan yang dimaksudkan bukanlah penyembelihan yang dikenal orang pada umumnya, tetapi itu adalah ungkapan kebinasaan agamanya, bukan kebinasaan badannya. Karena dia diuji dengan sesuatu kesusahan yang terus menerus dan penyakit yang kronis, yang akan diikuti dengan penyesalan sampai hari kiamat.

Fatwa Khalifah Umar Bin Khattab kepada Qadhi di Kufah Abu Musa Al-Asy’ari: “Samakan kedudukan manusia itu dalam majelismu, pada wajahmu, pada tindak lakumu dan dalam putusanmu, supaya yang kaya tidak menganggap “Wajar Ketidak Adilanmu”, dan yang miskin dan lemah “tidak berputus asa terhadap putusanmu”.

Dalam Al-Hadits dan Fatwa Amirul Mukminin yang termaktub diatas dengan gamblang menjelaskan “Kaedah-kaedah Penegakan Hukum didalam Islam dan Rasulullah S.A.W serta para sahabatnya telah pula memberikan tauladan (Uswah) secara langsung tentang penyelesaian terhadap kasus-kasus hukum yang dihadapi pada masanya. Dari fatwa tersebut dapat diambil hikmah bahwa seorang Hakim agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Kebenaran, Keadilan dan Kemandirian didalam menjalankan tugasnya dalam penyelesaian terhadap kasus-kasus yang diadili. Karena tanpa nilai kebenaran, keadilan dan kemandirian, maka profesionalisme jabatan Hakim menjadi bernuansa materialistis dan pragmatis, bukan bernuansa penjaga dan penegak keadilan bagi masyarakat.

Jika nilai materialisme dan pragmatisme mewarnai profisionalisme hakim, maka Pengadilan akan kehilangan wibawanya dan sebuah negara akan berjalan bukan dengan keadilan akan tetapi kedzaliman belaka.

Kedudukan hakim menjadi sangat strategis dan urgen serta Mulia didalam Islam karena hakim mengemban amanat sebagai “Penyambung Titah Allah S.W.T dan Rasulnya dimuka Bumi” dan juga menggali nilai-nilai hukum khususnya hukum Islam yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

Ketika memutus perkara, para hakim harus bersikap adil dengan tetap menghormati manusia sebagai seorang hamba dan Khalifatullah dimuka bumi. Oleh karena itu sudah seharusnya hakim menjadi “Uswatun Hasanah” (model hakim yang benar, adil dan mandiri) seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah S.A.W, dengan demikian sebuah keadilan bukan menjadi keniscayaan, akan tetapi menjadi sebuah kepastian dan jaminan hukum bagi setiap manusia.

0 comments:

Post a Comment