//]]> SEJARAH PENETAPAN KALENDER HIJRIYAH YANG SANGAT MENAKJUBKAN - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

September 16, 2017



Spirit Muslim. Sejarah penetapan/penanggalan Kalender Hijriyah ini identik dengan kalender yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Asal-usul penetapan kalender Islam ini sangat penting dalam sejarah peradaban Islam, karena kalender ini merupakan kalender umat Islam yang selalu digunakan untuk menentukan tanggal maupun bulan yang berkaitan dengan ibadah maupun hari-hari penting Islam lainnya. Kalender ini dinamakan Kalender Hijriyah, karena acuan pertama kali dalam menentukan tahun Hijriyah ini menggunakan tahun peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah.
Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Kalender Hijriyah juga digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari. Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran Matahari dalam menentukan sebuah hari, bulan, hingga tahun.

Sejak dahulu kala sebelum Islam datang, masyarakat Arab pada dasarnya telah mengenal sistem penanggalan, mereka menentukan sebuah hari menggunakan sistem perhitungan Qamariyah (kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat bahwa penetapan awal bulan tanggal 1 ditandai dengan kemunculan Hilal (bulan sabit muda pertama yang dapat dilihat setelah terjadinya konjungsi /ijtimak/ bulan baru pada arah dekat matahari terbenam yang menjadi acuan permulaan bulan).

Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, juga bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci yakni Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak diperkenankan melakukan peperangan.


Meskipun mereka sudah mampu untuk menetapkan tanggal pada awal bulan namun mereka masih belum memiliki angka untuk setiap tahun yang telah mereka lewati. Mereka membuat acuan sebuah tahun dengan peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut, bukan dengan angka melainkan dengan penamaan sebuah peristiwa besar yang terjadi saat itu. Dengan kata lain mereka sudah tahu tanggal dan bulan namun masih belum mengenal angka dari tahun tersebut.

Misalnya saja istilah tahun gajah yang mana pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah. Lalu tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar. Ada juga istilah Tahun “renovasi Ka’bah”, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan, semisal “10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai”.

Keadaan semacam ini berangsur-angsur terjadi sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Bahkan para sahabat ketika itu juga belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan pun juga masih sama seperti saat sebelum masuknya Islam ke bangsa Arab yakni menandai sebuah tahun dengan peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
  1. Tahun pertama = Sanatul Idzni (Tahun Idzin), sebuah tahun yang mana ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah.
  2. Tahun kedua =  Sanatul Amri (Tahun perintah), salah satu tahun yang mana umat Islam mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik.
  3. Tahun ketiga = Tamhish (ampunan dosa). Di tahun ini Allah menurunkan firman-Nya, ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud.
  4. Tahun keempat = Tarfi`ah (kesepakatan). Dari kata “ra-fa-a”, yang artinya ‘perjanjian damai antara dua kelompok.
  5. Tahun kelima = Zilzal (ujian berat). Sebuah tahun yang mana kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang Khandaq.
  6. Tahun keenam = Tahun Isti’nas (meminta izin), yang mengisyaratkan kejadian turunnya firman Allah, yang artinya, “Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian, sampai kalian meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (Q.S. An-Nur:28).
  7. Tahun ketujuh = Tahun Istighlab (kemenangan), karena di tahun ini, kaum muslimin berhasil mengalahkan orang Yahudi daerah Khaibar.
  8. Tahun kedelapan = Tahun Istiwa’ (berjaya). Inilah tahun terjadinya Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah).
  9. Tahun kesembilan = Tahun Al-Bara`ah (berlepas diri), yaitu tahun dilaksanakannya Haji Akbar, dan turun ayat yang menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri dari kaum musyrikin. Tahun ini juga sering disebut dengan “Tahun Wufud” (tamu), karena pada tahun ini, masyarakat Arab dari berbagai penjuru banyak berdatangan ke Madinah dengan berbondong-bondong, untuk menyatakan keislaman mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  10. Tahun kesepuluh = Tahun Al-Wada’ (perpisahan). Di tahun ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan Haji Wada'.
Lambat laun negeri islam yang semakin besar wilayah kekuasaannya menimbulkan berbagai persoalan administrasi. Misalnya saja soal surat menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dengan pusat yang ternyata masih belum terorganisir secara rapi karena tidak adanya acuan penanggalan yang sesuai pada masa itu. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat dengan lainnya.


Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjabat sebagai khalifah.

Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah. Abu Musa pun menanyakan perihal surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, disana hanya tertera tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:

إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ

Artinya:
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari anda, tanpa tanggal".

Dalam riwayat lain disebutkan:

إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

Artinya: “Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin".

Mengetahui kabar tersebut, kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, diantaranya Utsman bin Affan r.a, Ali bin Abi Thalib r.a, Abdurrahman bin Auf r.a, Sa’ad bin Abi Waqqas r.a, Zubair bin Awwam r.a, dan Thalhah bin Ubaidillah r.a untuk memusyawarahkan mengenai pembentukan kalender Islam ini. Pertemuan tersebut dilangsungkan pada tanggal 20 Jumadil Akhir, tahun 17 Hijriyah. beliau berkata kepada mereka:

ضعوا للناس شيئاً يعرفونه

Artinya:
Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”

Beberapa ada yang mengusulkan unuk menggunakan acuan tahun dari bangsa Romawi. Namun usulan ini ditolak karena tahun Romawi terlalu tua untuk digunakan. Perhitungan tahun Romawi sendiri sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)


Disebutkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dari Said bin Al-Musayib, beliau menceritakan:

Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun ?.” 

Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.”

Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama. (Al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).

Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi acuan? Atau tahun wafatnya Nabi ?

Jika tahun kelahiran Nabi digunakan sebagai acuan awal penentuan tahun Hijriyah maka dikhawatirkan hal tersebut menyerupai kalender kaum Nashrani, karena mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan penentuan tahun Masehi.

Dan kenapa tidak menjadikan tahun wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagai acuan ?

Jika tahun wafatnya Nabi S.A.W dijadikan acuan awal penanggalan Islam maka hal tersebut mengandung unsur tasyabuh (menyerupai) dengan orang Persia (Majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.

disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:

أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة

Artinya:
"Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau". (Fathul Bari, 7:268).

Abu Zinad mengatakan:

استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة

Artinya: “Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah." (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)

Karena penentuan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka disebutlah kalender Islam ini dengan sebutan kalender hijriyah.

Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah untuk menetapkan awal bulan dari kalender Hijriyah ini.

Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan digunakan sebagai bulan awal pada penanggalan Hijriyah.


Hingga akhirnya..............

Usulan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang dikabulkan dengan menetapkan bulan Muharram sebagai awal bulan dari kalender Hijriyah. Ini bukan tanpa alasan, melainkan penentuan ini dilatarbelakangi  beberapa alasan sebagai berikut:
  1. Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab pada masa silam.
  2. Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah.
  3. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua.
(simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268)

Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut. 

Baca juga: Amalan-amalan utama bulan muharram yang sayang jika dilewatkan.

Penentuan dimulainya sebuah hari dan tanggal pada Kalender Hijriyah pun juga berbeda dengan Kalender Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari dan tanggal dimulai pada pukul 00.00 dini hari waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Hijriyah, sebuah hari dan tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut.

Selain itu kalender Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata siklus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari).Hal inilah yang menjelaskan bahwa 1 tahun Kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Masehi.

Baca juga: Inilah keutamaan dan keistimewaan bulan muharram yang jarang diketahui.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوْا الْمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Artinya:
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa". (Q.S. At Taubah:36).


PEMBAGIAN BULAN PADA KALENDER HIJRIYAH

Sistem pembagian bulan dalam kalender Hijriyah pada dasarnya sudah memiliki tuntunan jelas di dalam Al-Qur'an, yaitu sistem kalender berdasarkan bulan (Qomariyah). Nama-nama bulan yang dipakai adalah nama-nama bulan yang memang berlaku di kalangan kaum Quraisy di masa kenabian. Penetapan bulan yang dilakukan oleh kaum Quraisy jaman dahulu membuat mereka bisa menerapkan praktek Interkalasi (Nasi'). Praktek Nasi' memungkinkan kaum Quraisy menambahkan bulan ke-13 atau lebih, tepatnya memperpanjang satu bulan tertentu selama 2 bulan pada setiap sekitar 3 tahun agar bulan-bulan qomariyah tersebut selaras dengan perputaran musim atau matahari. Karena itu pula, arti nama-nama bulan di dalam kalender qomariyah tersebut beberapa di antaranya menunjukkan kondisi musim. Misalnya, Rabi'ul Awwal artinya "musim semi" yang pertama. Ramadhan artinya "musim panas".

Adanya praktek Nasi' ini juga sering disalahgunakan oleh kaum Quraisy untuk meraup keuntungan dengan datangnya jamaah haji pada musim yang sama di tiap tahun di mana mereka bisa mengambil keuntungan perniagaan yang lebih besar. Praktek ini juga berdampak pada ketidakjelasan masa pada bulan-bulan Haram.

Pada tahun ke-10 setelah hijrah, Allah menurunkan ayat yang melarang praktek Nasi' ini:

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..." (Q.S. At Taubah: 36)

"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah... " (Q.S. At Taubah: 37)

Diantara bulan-bulan yang terdapat dalam kalender Hijriyah antara lain:

1. Muharram.
2. Shafar.
3. Rabi'ul Awal.
4. Rabi'ul Akhir.
5. Jumadil Awal.
6. Jumadil Akhir.
7. Rajab.
8. Sya'ban.
9. Ramadhan.
10. Syawal.
11. Dzulqa'dah.
12. Dzulhijjah.

Telah disebutkan diatas bahwa dalam Islam dikenal juga istilah bulan Haram yang mana seseorang dilarang untuk berperang bahkan menumpahkan darah sekaligus, bulan Haram yang dimaksud adalah: Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Banyak sekali hikmah dari ditetapkannya penanggalan Islam ini. Ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Dengan adanya penanggalan ini semakin memudahkan umat Islam untuk menandai berbagai peristiwa penting yang terjadi. Semoga bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita mengenai penanggalan Islam ini. Aminn.

0 comments:

Post a Comment