//]]> ULAMA INDONESIA YANG PERNAH MENJADI IMAM MASJIDIL HARAM - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

July 01, 2017




Spirit Muslim. Masjidil Haram di Makkah merupakan salah satu Masjid terbaik dan Masjid paling mulia yang ada di dunia. Sejarahnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad S.A.W membuat Masjid ini memiliki nilai tersendiri dalam Islam. Karenanya, beribadah disana menjadi salah satu harapan bagi seluruh umat islam di dunia tak terkecuali menjadi imam besar di Masjidil Haram.

Sudah tidak mengherankan bahwa imam Masjidil Haram mayoritas berasal dari bangsa Arab sendiri. Namun siapa sangka, terdapat sederet ulama Indonesia yang pernah menjabat sebagai imam besar disana. Memang selama lebih dari 50 tahun terakhir ini tidak ada lagi ulama Indonesia yang menjadi imam besar di Masjidil Haram, hal ini lantaran pemerintah Arab Saudi menerapkan Qarar (peraturan) yang mewajibkan seluruh imam dan muadzin harus orang Arab sendiri. Bahkan dosen-dosen Universitas Islam di Madinah dan Ummul Qura sudah tidak didapati lagi dari kalangan luar Arab. Berikut 3 ulama besar Indonesia yang berhasil menjabat sebagai imam besar di Masjidil Haram.

Baca juga: Asal usul hajar aswad lengkap

1. SYEKH JUNAID AL-BATAWI.

Syekh Junaid merupakan salah satu ulama besar yang berasal dari indonesia, tepatnya beliau lahir di Pekojan-Jakarta Barat. Beliau tercatat pernah menjadi guru di Makkah sekaligus menjabat sebagai salah satu imam besar Masjidil Haram. Kawasan Pekojan pada abad 18 hingga 19 merupakan salah satu perkampungan intelektual pertama di ranah Betawi.

Ditengah perjalanan hidupnya, Syekh Junaid beserta keluarganya pindah dan menetap di Makkah pada saat beliau berumur 25 tahun. Syekh Junaid terkenal aktif mengajar di lingkungan Masjidil Haram. Beliau memiliki berbagai murid yang berasal dari berbagai negara. Selain itu beliau dijuluki "Syaikhul Masyayikh" oleh para ulama dari madzhab Imam Syafi'i.

Diantara muridnya yang mahsyur adalah Syekh Muhamad Nawawi Al-Banteni Al-Jawi yang merupakan salah satu keturunan pendiri kerajaan Banten. Maka tak heran jika setiap digelar acara haul di kediaman Syekh Nawawi tak lupa selalu dikirimkan surat Al-Fatihah yang ditujukan untuk Syekh Junaid Al-Batawi.

Syekh Junaid wafat di Makkah pada tahun 1840 pada usia kurang lebih 100 tahun.


2. SYEKH MUHAMAD NAWAWI AL-BANTANI.

Syekh Nawawi lahir di kampung Tanara-Serang-Banten pada tahun 1815 dan meninggal pada tahun 1897 di Makkah. Beliau merupakan keturunan dari sunan Gunung Jati. Beliau juga tercatat pernah menjabat sebagai imam besar Masjidil Haram.

Sang ayah melihat potensi luar biasa yang dimiliki oleh Syekh Nawawi kecil pada saat berumur 5 tahun. Hal ini bermula pada saat Syekh Nawawi sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan sulit dan kritis yang membuat sang ayah berinisiatif untuk mengirimnya belajar lebih mendalam di pesantren yang ada di Jawa.

Berkat otak cerdas yang dimiliki oleh Syekh Nawawi, pada usia 15 tahun beliau sudah mampu mengajar banyak ilmu agama ke banyak orang. Saking banyaknya yang berguru pada beliau, sampai-sampai beliau harus mencari tempat yang lebih luas di pinggir pantai untuk menampung para muridnya tersebut. Pada usia inilah beliau menunaikan ibadah haji hingga berguru ke ulama besar di Makkah.

Selama kurang lebih 3 tahun beliau belajar kepada ulama-ulama besar seperti:

  1. Syekh Khatib Al-Sambasi.
  2. Abdul Ghani Bima.
  3. Yusuf Sumbulaweni.
  4. Abdul Hamid Daghestan.
  5. Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi.
  6. Syekh Ahmad Dimyati.
  7. Syekh Ahmad Zaini Dahlan.
  8. Syekh Muhammad Khatib Hambali.
  9. Syekh Junaid Al-Batawi.

Hinga pada suatu ketika beliau kembali pulang ke Banten tanah kelahirannya dan melihat betapa banyaknya kekejian, penindasan, dan kebodohan yang merajalela akibat ulah pemerintah Hindia-Belanda. Melihat hal tersebut beliau bertekad untuk berjihad dan berdakwah di lingkungan Masjid. Namun sayangnya hal tersebut diketahui oleh Belanda dan setiap gerak-gerik Syekh Nawawi mulai dibatasi. Pada tahun 1825-1830 bertepatan dengan perjuangan pangeran Diponegoro, Syekh Nawawi dituduh sebagai antek pangeran Diponegoro sehingga pemerintah Hindia-Belanda mengusirnya dan Syekh Nawawi terpaksa harus hijrah kembali ke Makkah.

Setibanya di Makkah beliau kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya selama kurang lebih 30 tahun. Semakin hari semakin mahsyur saja pemikiran Syekh Nawawi. Ketika menetap di Syi'ib Ali-Makkah, semakin banyak muridnya yang berdatangan dari berbagai negara untuk menuntut ilmu kepadanya. Semenjak itulah beliau tersohor sebagai ulama cerdas dalam ilmu agama.

Puncaknya, ketika imam besar Masjdil Haram yakni Syekh Ahmad Khatib Sambas meminta Syekh Nawawi untuk menggantikan kedudukannya di Masjidil Haram. Namanya semakin melekat dengan julukan resmi yang disematkan pada namanya yakni Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi yang artinya Guru Besar Nawawi dari Banten-Jawa.

Selain itu beliau juga mendapatkan banyak gelar kehormatan dalam bidang agama, salah satunya doktor ketuhanan oleh Snouck Hourgronje. Lalu juga ada yang memberikan gelar kepada beliau sebagai Al-Imam Wa Al-Fahm Al-Mudaqqiq (tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Gelar yang luar biasa juga beliau dapatkan berupa Al-Sayyid Al-Ulama Al-Hijaz (tokoh ulama Hijaz). Sedangkan gelar termahsyur yang beliau dapatkan di Indonesia adalah "bapak kitab kuning Indonesia".

Banyak murid-murid beliau yang pada akhirnya menjadi seorang ulama besar dan penerus dari cita-cita Syekh Nawawi. Diantaranya, K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) dan K.H. Muhammad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah).

Syekh Nawawi juga seorang penulis yang terbilang cukup produktif meliputi kitab-kitab dalam bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, serta hadits. Jumlah karyanya mencapai kurang lebih 115 kitab.


3. SYEKH AHMAD KHATIB AL-MINAGKABAWI RAHIMAHULLAH.

Beliau memiliki nama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif Al-Minangkabawi. Beliau lahir di Kota Tua-Ampek Angkek-Kabupaten Agam-Sumatera Barat pada 26 Juni 1860 (6 Dzulhijjah 1276 H) dan meninggal pada 13 Maret 1916 di Makkah.

Saat kecil beliau sudah mampu menghafal beberapa juz Al-Quran. Melihat kecerdasannya tersebut akhirnya sang ayah yang sekaligus menjadi gurunya yakni Syekh Abdul Latif mengajaknya ke Makkah pada usia 11 tahun untuk menunaikan ibadah haji.

Selesai berhaji, Syekh Ahmad Khatib kecil tetap tinggal di Makkah untuk menuntaskan hafalan Al-Qurannya, sementara sang ayah pulang ke Sumatera Barat. Selain menghafal Al-Quran, Syekh Ahmad Khatib kecil juga berguru kepada ulama di Makkah seperti:

  1. Sayyid Bakri Syatha.
  2. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.
  3. Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makkiy.


Selain itu beliau juga memiliki banyak sekali murid yang kelak kebanyakan dari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti 

  1. Abdul Karim Amrullah (ayah dari buya Hamka).
  2. Syekh Muhammad Jamil Jambek (Bukit Tinggi).
  3. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Candung-Bukit Tinggi).
  4. Syekh Muhamad Jamil Jaho (Padang Panjang).
  5. Syekh Abbas Qadhi (Ladang Lawas-Bukit Tinggi).
  6. Syekh Abbas Abdullah (Padang Japang-Suliki).
  7. Syekh Khatib Ali Padang.
  8. Syekh Ibrahim Musa Parabek.
  9. Syekh Mustafa Husein (Purba Baru-Mandailing).
  10. Syekh Hasan Makshum (Medan).
  11. K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU).
  12. K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah). 

Syekh Ahmad Khatib adalah sosok ulama yang terkenal dalam ahli adabnya, selain itu beliau juga seorang penyair ternama. Beliau juga sempat menjabat sebagai duta besar Saudi untuk Pakisttan. Kealiman Syekh Ahmad Khatib dibuktikan dengan diangkatnya beliau sebagai imam dan khatib sekaligus sebagai staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan imam dan khatib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh, melainkan jabatan ini khusus hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi.

Ada dua riwayat perihal pengangkatan Syekh Ahmad Khatib sebagai imam besar Masjidil Haram.

Riwayat pertama. Ditulis oleh Umar Abdul Jabbar dalam kamus Tarajimnya.Umar Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khatib tersebut diperoleh atas permintaan sang mertua yakni Shalih Kurdi kepada Syarif 'aunur Rafiq agar berkenan mengangkatnya sebagai imam dan khatib di Masjidil Haram.

Riwayat kedua. Ditulis oleh Buya Hamka Rahimahullah dalam karyanya yang berjudul "Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera" yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Buya Hamka mengkisahkan suatu ketika dalam sebuah shalat berjamaah yang diimami oleh Syarif 'aunur Rafiq ada bacaan yang salah diucapkan, lantas Syekh Ahmad Khatib seketika itu membenarkan bacaannya tersebut. Mengetahui Syekh Ahmad Khatib yang membenarkan bacaannya tersebut, lantas Syarif 'aunur Rafiq mengangkatnya menjadi imam dan khatib di Masjidil Haram untuk madzhab Imam Syafi'i.

Subhanallah, itulah sepenggal kisah berharga mengenai ketiga ulama kita yang berhasil menjabat sebagai imam besar di Masjidil Haram. Bukanlah perkara mudah untuk menjabat sebagai imam Masjidil Haram, mengingat untuk menjadi seorang imam disana dibutuhkan pengetahuan dan kealiman dari sang imam. Semoga kisah ini dapat menjadi inspirasi kita untuk selalu bersemangat mencontoh para ulama yang sangat alim dalam ilmu agamanya. Baarakallah.

0 comments:

Post a Comment