//]]> Asal-usul Sejarah Tahlilan dan Kontroversinya di Indonesia - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

January 17, 2023
ASAL-USUL SEJARAH TAHLILAN DAN KONTROVERSINYA DI INDONESIA

Spirit Muslim. Di Indonesia, terlebih di tanah Jawa kegiatan pembacaan Tahlil atau biasa disebut Tahlilan menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah dan sering kita jumpai ketika kerabat, tetangga, atau bahkan salah satu anggota keluarga ada yang meninggal dunia. Biasanya kegiatan Tahlilan ini dilakukan selama 7 hari berturut-turut, kemudian pada hari ke 40,100, hingga 1000 hari kematian juga diperingati dengan acara Tahlilan pula.

Kegiatan Tahlilan yang dianggap sebagai tradisi tanah Jawa nyatanya terdapat sejarah panjang dibaliknya. Sejarah dan asal-usul Tahlilan ini juga tidak lepas dari peran dan pengaruh besar dari Wali Songo yang berupaya untuk mengalkuturasikan tradisi masyarakat dengan hukum syari'at Islam. Dengan cara ini Wali Songo berharap agar Islam semakin mudah diterima oleh masyarakat awam karena tidak serta merta meninggalkan tradisi dan adat istiadat yang sudah lama dilakukan.

Mengingat Tahlilan sudah menjadi tradisi lama yang sudah melekat bagi masyarakat Indonesia, berikut Spirit Muslim akan membagikan seperti apa sejarah dan asal usul kegiatan Tahlilan di Indonesia berawal ? siapa yang memiliki ide atau gagasan pertama kali untuk mengadakan acara Tahlilan di Indonesia ? Sejak kapan Tahlilan dilakukan ? Apakah Tahlilan masih ada hubungannya dengan upacara agama Hindu atau Budha ? Berikut penjelasan selengkapnya


ASAL USUL ACARA TAHLILAN

Asal-usul Acara Tahlilan

Tahlilan merupakan akulturasi adat Jawa dan Islam yang sudah berkembang sejak lama sebagai salah satu wasilah untuk mendoakan arwah si Mayit yang sudah meninggal dunia. Awal mula lahirnya kegiatan Tahlilan ini dimulai sejak zaman Wali Songo menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Wali Songo ini mencoba untuk mengakulturasikan antara upacara Hindu dan Budha yang sulit ditinggalkan bagi mereka yang telah masuk Islam, hal ini dilakukan sebagai salah satu cara agar masyarakat berkenan masuk Islam dan meninggalkan kebiasaan tersebut secara bertahap.


Keberadaan Tahlilan di tanah Jawa ini bermula saat Wali Songo terbagi kedalam 2 golongan dalam menyikapi adat dan istiadat yang sudah berkembang sejak lama, yakni aliran Giri atau disebut Islam putih dan aliran Tuban atau disebut Islam abangan.

Aliran Giri atau Islam putih dalam menyikapi adat istiadat masyarakat Jawa sama sekali tidak ada kompromi. Jika adat istiadat tersebut terdapat unsur ajaran Budha, Hindu, dan lain-lain yang bertentangan dengan ajaran Islam maka hal tersebut harus dibuang jauh-jauh tanpa terkecuali, karena memang dalam syiarnya aliran Giri ini mengajarkan Islam yang murni dan kaffah (menyeluruh). Aliran Giri sendiri dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukungnya yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan Raden Syarifuddin (Sunan Drajat).

Sedangkan aliran Tuban atau Islam abangan dalam menyikapi adat istiadat masyarakat jawa lebih adaptif. Orang-orang yang masuk Islam melalui jalur ini masih diperbolehkan untuk mengerjakan kebiasaan adat dan istiadat leluhur mereka namun dengan catatan bahwa adat istiadat tersebut dikolaborasikan dengan hal-hal yang bersifat Islami. Aliran Tuban ini dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.


TAHLILAN BERASAL DARI UPACARA HINDU

Tahlilan Berasal dari Upacara Hindu

Salah satu kebiasaan yang coba diakulturasikan oleh aliran Tuban adalah kebiasaan upacara Hindu yang diakulturasikan menjadi kegiatan Tahlilan. Dalam ajaran Hindu terdapat sebuah upacara Pinda Pitre Yajna dimana orang-orang Hindu meyakini bahwa setelah seseorang meninggal dunia sebelum memasuki karman ia akan menjelma menjadi dewa, manusia, hingga tumbuh-tumbuhan sesuai amal perbuatannya di dunia, selama 1-7 hari roh tersebut diyakini masih berada di sekitar rumah dan keluarganya.

Kemudian roh tersebut akan kembali lagi pada hari ke 40, 100, hingga 1000 hari kematiannya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut diadakan upacara dengan saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya menjalani karma dengan menjadi manusia yang baik.


MUSYAWARAH PARA WALI

Musyawarah Wali Songo Mengenai Tahlilan

Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang-orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku pemimpin Aliran Tuban mengusulkan kepada majelis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang dimasuki unsur keislaman, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna.

Namun usulan tersebut menimbulkan kontroversi dikalangan para wali, dimana adat istiadat tersebut menyimpang dengan ajaran Islam. Mendengar usulan tersebut, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu mengajukan pertanyaan: “Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah ?".

Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat tidak menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah yang lain menyetujui usulan tersebut. Mulai saat itulah berdasarkan hasil musyawarah tersebut, upacara agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan istilah Nelung Dino (Tiga harian), Mitung Dina (Tujuh harian), Matang Puluh (Empat puluh harian), Nyatus (Seratus harian), dan Nyewu (Seribu harian). Selain itu Mantra-mantra yang biasa diucapkan dalam upacara tersebut diubah dg dzikir dan doa, seperti membaca tahlil, tasbih, tahmid, dan kalimat thoyyibah lainnya serta berdoa kepada Allah sesuai dengan tata cara Islam


TAHLILAN SUDAH ADA SEJAK ZAMAN ULAMA MUTAAKHIRIN

Tahlilan Sudah Ada Sejak Ulama Mutaakhirin

Sejarah pertama kali Tahlilan diadakan tidak hanya berasal dari kehadiran Wali Songo saja. Jauh sebelum itu, kegiatan Tahlilan juga sudah dilakukan sejak zaman ulama Mutaakhirin. Bahkan ada sebuah redaksi hadits dimana kegiatan Tahlilan bukan berasal dari agama Hindu, namun murni ajaran dari Rasulullah S.A.W, hal ini tertulis dalam kitab Al-Hawi lil Fatawi karangan Imam Asy-Syuyuhi berikut:

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓن ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨

Artinya:
Rasulullah S.A.W bersabda: “Doa dan shadaqah itu hadiah kepada mayyit.”

Berkata Umar: “shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh di hari ke tujuh akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya lalu sedekah dihari ke 40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.” (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198).

Selain itu di dalam buku Sejarah Tahlil terbitan LTN NU dan Pustaka Amanah Kendal, tertulis bahwa tradisi tahlilan sudah ada sejak zaman Ulama muta’akhirin yaitu sekitar sejak abad ke 11 H jauh sebelum kehadiran Wali Songo. Para ulama melakukan istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits yang kemudian menyusun bacaan-bacaan tahlil serta mengamalkan dan mengajarkanya kepada kaum muslimin.

Bahkan Imam Jalaluddin As-Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya Al-Hawi lil-Fatawi memaparkan bahwa sejarah kegiatan Tahlilan seperti memberikan makanan selama 7 hari setelah kematian adalah suatu amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh umat muslim di Mekkah dan Madinah. Hal itu berlangsung hingga masa beliau.

أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول

Artinya:
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para sahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam". (Al-Hawi Al-Fatawi [2/234] lil-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi)


ASAL-USUL BACAAN TAHLILAN

Asal-usul Bacaan Tahlilan

Dalam Tahlilan lazim kita dengarkan bahwa bacaan Tahlil berisi beberapa ayat suci Al-Qur'an beserta dengan kalimat-kalimat Thayyibah lainnya yang dihadiahkan untuk kebaikan si Mayit. Mulai dari dari surat-surat pendek seperti surat Al-Ikhlas hingga kalimat Tauhid dan shalawat juga dibacakan dalam Tahlilan.


Namun tahukah sahabat, bahwa bacaan-bacaan dalam Tahlil itu berasal dari Hadramaut, Yaman. Wali Songo yang masih memiliki darah keturunan dari Rasulullah S.A.W menyebarkan Islam di Nusantara dan memperkenalkan bacaan Tahlil tersebut dengan mengakulturasikannya dengan tradisi lama masyarakat Jawa. Meskipun bacaan Tahlil ini berasal dari Yaman, namun ada perbedaan dalam pembacaan Tawasul, dimana jika di Yaman Tawasul dikhususkan kepada Wali Quthub yang bernama Sayyid Muhammad bin Ali Ba’alawi, sedangkan di Jawa mengikuti Thariqoh Qodiriah, dimana Wali Quthubnya adalah Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani.

Perihal siapa yang pertama kali menyusun rangkaian bacaan Tahlil, para ulama masih berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun tahlil (bacaan tahlilan) adalah Sayyid Ja’far Al-Barzanji, sebagian lain berpendapat bahwa yang menyusun Tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Namun pendapat yang paling kuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapat bahwa yang menyusun bacaan tahlil pertama kali adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, karena Imam Al-Haddad wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja’far Al-Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H.



KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan Tahlilan sudah berlangsung sejak lama dan bukan berasal dari tradisi upacara agama Hindu, hanya saja memiliki kemiripan dalam pelaksanaannya. Kegiatan Tahlilan ini pada dasarnya sudah dilakukan oleh masyarakat Makkah dan Madinah pada masa ulama Mutaakhirin yakni sekitar tahun 11 H.

Hingga kemudian Wali Songo yang memiliki darah keturunan Rasulullah S.A.W tiba di Nusantara dengan menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa dan melihat tradisi upacara agama Hindu yang hampir sama dengan tradisi Islam di Makkah dan Madinah. Kemudian Wali Songo ini memiliki inisiatif untuk memasukkan unsur-unsur Tahlilan ke dalam upacara tersebut agar masyarakat yang sudah masuk Islam mampu beradaptasi secara perlahan-lahan dengan aturan syariat Islam.

0 comments:

Post a Comment