//]]> Hukum Mengadakan Tahlilan 7, 40, dan 100 Hari Menurut Ulama Madzhab Syafi'i - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

January 15, 2023
HUKUM MENGADAKAN TAHLILAN 7,40,DAN 100 HARI MENURUT ULAMA MADZHAB SYAFI'I

Spirit Muslim. Tahlilan atau pembacaan Tahlil secara bersama-sama menjadi sebuah tradisi yang melekat erat bagi mayoritas masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat pulau Jawa. Kegiatan Tahlilan ini pada dasarnya merupakan kegiatan membaca beberapa ayat suci Al-Qur'an untuk dihadiahkan kepada si mayit dengan tujuan untuk menambah amal baik si mayit dan meringankan beban si mayit saat di alam kubur atau di alam Barzah. Biasanya acara Tahlilan ini dilakukan pada 1-7 hari kematian, 40 hari kematian, 100 hari kematian, bahkan hingga 1000 hari kematian seseorang.

Namun perihal membaca Tahlil atau Tahlilan ini terdapat kontroversi diantara beberapa golongan umat Islam, sebagian yang tidak setuju dengan kegiatan Tahlilan ini menuduhnya sebagai perbuatan Bid'ah atau sesuatu yang tidak diajarkan dan tidak ada pada zaman Rasulullah S.A.W, dimana hal tersebut menjadi sebuah perbuatan yang Haram untuk dilakukan. Lantas seperti apa pandangan para ulama Madzhab Syafi'iyyah menyikapi kegiatan Tahlil atau Tahlilan ini ? Bagaimana pula hukum mengadakan Tahlil atau Tahlilan ini menurut ulama Madzhab Syafi'i ? berikut Spirit Muslim akan membagikan kepada sahabat semua perihal hukum mengadakan Tahlilan menurut ulama Madzhab Syafi'i lengkap dengan dalil Al-Qur'an dan Sunnah yang menguatkannya.



SEJARAH SINGKAT TAHLILAN

Sejarah Singkat Tahlilan

Tahlilan atau pembacaan Tahlil bersama merupakan sebuah kegiatan pembacaan beberapa ayat Al-Qur'an dan beberapa kalimat Thayyibah lain seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir yang dibaca bersama-sama dengan tujuan untuk menghadiahkan bacaan tersebut kepada mayit atau orang yang sudah meninggal dunia. Biasanya kegiatan Tahlilan ini rutin dilakukan pada hari pertama hingga ke tujuh sepeninggalnya si mayyit, lalu dilanjutkan pada hari ke 40, 100, hingga ke 1000 harinya meninggalnya si mayit.

Tradisi Tahlilan pada dasarnya diadaptasi dari kebiasaan orang-orang Hindu Budha jaman dulu yang sulit untuk ditinggalkan. Kisah ini bermula saat keberadaan Wali Songo sebagai penyebar syiar Islam di Nusantara terbagi kedalam 2 golongan dalam menyikapi adat dan istiadat yang sudah lama melekat di Nusantara ini, dua golongan yang dimaksud adalah aliran Giri (putih) yang menentang keras terhadap adat istiadat yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan aliran Tuban (abangan) yang mentolerir adat istiadat lama namun tetap diiringi dengan syariat Islam.


Pada saat Walisongo datang di Nusantara, masyarakat masih banyak yang beragama Hindu dan Budha, mereka masih erat dengan tradisi sesajen hingga menumbalkan hewan tertentu untuk dipersembahkan kepada roh-roh leluhur mereka, hal semacam ini pun mereka lakukan selama 7 hari berturut-turut, bahkan dilakukan juga pada hari ke 40, 100, hingga ke 1000 hari meninggalnya seseorang.

Untuk mensiasati tradisi yang sudah lama melekat di masyarakat tersebut, akhirnya orang-orang yang masuk Islam melalui aliran Tuban Walisongo mentolerir hal demikian, namun dengan beberapa catatan bahwa kegiatan tersebut harus diisi dengan hal-hal yang mengandung syariat Islam, seperti pembacaan Tahmid, Tasbih, Tahlil, hingga beberapa ayat suci Al-Qur'an dan doa-doa yang sesuai dengan syari'at Islam.


PANDANGAN PARA ULAMA SYAFI'I MENGENAI TAHLILAN

Pandangan Para Ulama Syafi'i mengenai Tahlilan

Tahlilan pada dasarnya berisi dengan hal-hal yang kental dengan syari'at Islam, dimana kalimat-kalimat Thayyibah dan ayat-ayat suci Al-Qur'an dilantunkan bersama-sama untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia. Perihal mengadakan acara Tahlilan ini, Imam Nawawi dari Madzhab Syafi'i menyebutkan:

وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ، وَالأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعُو لَهُمْ عَقِبَهَا

Artinya:
"Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya". (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 311).


Pendapat Imam Nawawi tersebut sudah sangat jelas bahwa mengadakan Tahlilan hukumnya Sunnah. Hal ini terlihat saat Imam Nawawi menyebutkan bahwa "disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur'an dan berdoa untuk mereka". Meskipun konteks Imam Nawawi ditujukan kepada orang-orang yang ziarah kubur namun hal itu juga mencakup hal-hal yang berada di luar kegiatan ziarah kubur, karena pada intinya sama-sama mendoakan untuk kebaikan si mayit.

Lebih lanjut Ibnu Taimiyah pun dalam Majmu' Fatawa menyebutkan:

ﻭﺳﺌﻞ: ﻋﻦ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﺗﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ؟ ﻭاﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﺇﺫا ﺃﻫﺪاﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺛﻮاﺑﻬﺎ ﺃﻡ ﻻ؟
ﻓﺄﺟﺎﺏ: ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻗﺮاءﺓ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺗﺴﺒﻴﺤﻬﻢ ﻭﺗﻜﺒﻴﺮﻫﻢ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺫﻛﺮﻫﻢ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺇﺫا ﺃﻫﺪﻭﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

Artinya:
Ibnu Taimiyah ditanya tentang bacaan keluarga mayit apakah sampai kepada mayit? Berupa bacaan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, jika dihadiahkan kepada mayit apakah pahalanya sampai?
Ibnu Taimiyah menjawab: "Bacaan keluarga mereka bisa sampai kepada mayit, baik tasbih, takbir dan dzikir mereka karena Allah. Bila mereka menghadiahkan bacaan itu kepada mayit maka akan sampai. Wallahu A'lam."

Perihal memperingati kematian seseorang mulai dari hari pertama hingga ke tujuh, lalu peringatan 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari dari meninggalnya si mayit maka hal ini mengacu pada salah satu hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ

Artinya:
"Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya". (HR. Bukhari)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, h. 197).

Sudah sangat jelas bahwa dari hadits Rasulullah S.A.W dan pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa mengkhususkan suatu amal baik pada hari atau momen tertentu diperbolehkan seperti peringatan tahlilan dari hari pertama hingga ke tujuh, lalu peringatan 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari dari meninggalnya si mayit, maka hal ini diperbolehkan.

Lantas bagaimana hukum makan-makan dan membagikan bingkisan setelah selesai Tahlilan ? Sebelumnya perlu dipahami bahwa kegiatan makan-makan dan membagikan bingkisan ini bukanlah suatu bentuk menghambur-hamburkan harta atau kegiatan berfoya-foya. Kegiatan makan-makan atau membagikan bingkisan kepada orang yang turut serta dalam Tahlilan merupakan sebuah bentuk sedekah serta rasa terima kasih dari keluarga si mayit karena telah berkenan mendoakan si mayit tersebut. Bahkan Rasulullah S.A.W pun memperbolehkan seseorang bersedekah yang dikhususkan untuk kebaikan si mayit. Dari Aisyah r.a, Rasulullah S.A.W bersabda:

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ نَعَمْ

Artinya:
"Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”  (HR. Bukhari)

Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, hadits ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, h. 90).

Dari semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mengadakan acara Tahlilan hukumnya Sunnah bahkan doa yang dipanjatkan dan yang dikhususkan kepada si mayit akan bermanfaat dan akan sampai kepada si mayit tersebut. Tidak dapat dipungkiri disatu sisi Tahlilan mengandung Bid'ah, namun Bid'ah yang dimaksud adalah Bid'ah Hasanah, yakni sesuatu yang tidak diajarkan oleh Rasulullah S.A.W secara langsung akan tetapi mengandung kebaikan-kebaikan yang pernah Rasulullah S.A.W isyaratkan dari dahulu. Bahkan dengan campur tangan dari Walisongo yang mampu mengakulturasikan antara adat dan hukum syari'at membuat Islam semakin mudah diterima oleh masyarakat jawa dan meluas hingga ke pelosok Nusantara saat ini.

0 comments:

Post a Comment