//]]> KHITAN DAN SUNAT SALAH SATU SYARI'AT ISLAM - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

October 16, 2017


Spirit Muslim. Khitan atau yang biasa kita kenal dengan sunat/sunatan merupakan salah satu syariat Islam yang dilakukan dengan cara memotong sebagian alat kelamin dengan cara-cara tertentu. Setiap anak laki-laki maupun perempuan dalam Islam pada dasarnya sudah mempersiapkan diri mereka untuk dikhitan, berbeda dengan non-muslim yang khawatir ketika alat kelaminnya dikhitan, mereka menganggap bahwa khitan adalah memotong keseluruhan alat vital, padahal tidak demikian, yang dimaksud Khitan hanya memotong sebagian saja dari alat kelmin untuk menghilangkan sisa-sisa najis yang menempel pada alat kelamin seseorang


Khitan pada dasarnya merupakan salah satu adat Islam yang telah berlangsung sejak lama, lebih tepatnya pada masa nabi Ibrahim kebiasaan khitan ini dimulai. 

اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُوْمِ 

Artinya:
“Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan Al Qodum.” (H.R. Bukhari, lafadz ini terdapat dalam Shahih Bukhari yang berbeda dalam kitab Fiqh Sunnah). 

Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Qodum di sini adalah alat untuk memotong kayu sejenis kampak atau bisa juga diartikan sebagai suatu nama daerah di Syam.

Untuk memperdalam pengetahuan kita mengenai Khitan, berikut penjelasan selengkapnya mengenai hal hal yang berhubungan dengan Khitan, mulai dari pengertian Khitan, Hukum Khitan, dalil-dalil, hikmah, waktu pelaksanaan, hingga tata cara Khitan yang baik dan benar.

PENGERTIAN KHITAN

الْخِتَنْ secara bahasa berasal dari kata "خَتَنَ", yang berarti memotong. Beberapa ahli bahasa ada yang mengkhususkan lafadz Khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan Khifadh. Sedangkan secara Istilah Khitan adalah membuka atau memotong kulit (Quluf) yang menutupi ujung kemaluan dengan tujuan untuk membersihkan sisa-sisa najis yang menempel pada kulit kemaluan seseorang.

Menurut Ibnu Hajar, kata Khitan merupakan isim masdar dari kata Khatana yang berarti memotong, yakni memotong sebagian yang khusus dari anggota badan yang khusus pula. Kata memotong dalam hal ini mempunyai makna dan batasan-batasan tertentu. Dengan kata lain bahwa makna dasar kata khitan adalah bagian kemaluan yang harus dipotong.

Menurut Imam al-Mawardi, khitan untuk laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi khasyafah (kepala kemaluan), sehingga seluruh khasyafah terbuka dan tidak ada kulit yang menutupinya. Adapun khitan untuk perempuan adalah memotong kulit yang berada di ujung kemaluannya.

Imam Haramain mendefinisikan bahwa Khitan adalah memotong Qulfah/Kulub, yaitu kulit yang menutupi kepala penis sehingga tidak ada lagi sisa kulit yang menjulur.

Lain halnya dengan Abu Bakar Usman Al-Bakri, beliau mendefinisikan bahwa Khitan adalah memotong bagian yang menutupi Khasyafah (kepala kemaluan) sehingga Khasyafah tersebut terlihat semuanya, apabila kulit yang menutupi khasafah tumbuh kembali maka tidak ada lagi kewajiban untuk memotongnya kembali.

Sedangkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Khitan berarti memotong Qulub (kulit pada ujung kemaluan laki-laki) bersunat atau dalam bahasa medis disebut Sirkumsisi.

Dari semua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi dzakar dan memotong daging yang menonjol (Klitoris) bagi perempuan.

HUKUM KHITAN

Awal disyariatkannyya Khitan adalah pada masa Nabi Ibrahim. Beliau adalah orang yang pertama kali merasakan prosesi Khitan ini. Sedangkan dari kaum wanita, yang pertama melangsungkan Khitan adalah siti Hajar. Kendati demikian beberapa nabi lainnya ada juga yang dilahirkan sudah dalam keadaan terkhitan, diantaranya: Nabi adam, Nabi Syist, Nuh, Hud, Shalih, Luth, Syu`aib, Yusuf, Musa, Sulaiman, Zakaria, Isa, Handhalah bin Shafwan dan Nabi kita Muhammad S.A.W.

Sebelum membahas lebih mendalam mengenai hukum Khitan mari kita kaji hadits berikut

الفِطْرَةُ خَمْسُ : الْخِتَانُ وَالْإِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ 

Artinya:
“Lima dari fitrah yaitu Khitan, Istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits tersebut, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, fitrah terbagi menjadi dua. Yakni fitrah yang berhubungan dengan hati dan fitrah Amaliah.

Fitrah hati merupakan fitrah yang berhubungan dengan makrifat kepada Allah S.W.T, mencintai serta mendahulukan-Nya dari yang lain.

Sedangkan  fitrah amaliah adalah fitrah yang berhubungan dengan kesucian badan. Kedua fitrah ini saling terkait satu sama lain untuk mencapai fitrah yang hakiki. Dan salah satu pokok fitrah badan adalah Khitan.

Dari hadits diatas jika kita analisa lebih lanjut menunjukkan seakan-akan hukum Khitan adalah sunnah. Namun sebagian masyarakat menganggap bahwa hukum khitan adalah wajib.

Lantas mana yang benar ?

Keduanya tidaklah salah, karena memang Hukum berkhitan hingga sekarang masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, namun yang paling dekat dengan kebenaran adalah bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan.

letak perbedaan antara keduanya adalah mengenai kemaslahatan yang berhubungan dengan syarat diterimanya shalat yaitu Thaharah (suci). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Asy Syarhul Mumthi’ disebutkan: "Terdapat perbedaan hukum Khitan antara laki-laki dan perempuan. Khitan pada laki-laki terdapat suatu maslahat di dalamnya karena hal ini akan berkaitan dengan syarat sah shalat yaitu Thaharoh (bersuci). Jika kulit pada kemaluan yang akan dikhitan tersebut dibiarkan, kencing yang keluar dari lubang ujung kemaluan akan ada yang tersisa dan berkumpul pada tempat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit/pedih tatkala bergerak dan jika dipencet/ditekan sedikit akan menyebabkan kencing tersebut keluar sehingga pakaian dapat menjadi najis. Adapun untuk perempuan, tujuan khitan adalah untuk mengurangi syahwatnya. Dan ini adalah suatu bentuk kesempurnaan dan bukanlah dalam rangka untuk menghilangkan gangguan".

Selain itu kebiasaan khitan ini juga telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim pada masanya, maka tidak alasan bagi kita untuk tidak mengikutinya. Allah S.W.T berfirman:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ 

Artiinya:
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan". (Q.S. An-Nahl : 123)

KHILAF ULAMA MENGENAI HUKUM KHITAN

Berikut beberapa pendapat para ulama mengenai hukum khitan ini

MADZHAB HANAFI
Imam Al Baldahi Al Hanafi, berpendapat bahwa Khitan adalah sunah bagi laki-laki. Dan merupakan kehormatan bagi perempuan, dan bukan merupakan sebuah kewajiban. Namun beliau menambahkan bahwa ketika suatu penduduk kota tidak ada yang melakukan Khitan sama sekali, maka penduduk tersebut berhak diperangi oleh pemimpin karena tidak menjalankan  syiar Islam.

وَالْخِتَانُ لِلرِّجَالِ سُنَّةٌ وَهُوَ مِنَ الْفِطْرَةِ، وَهُوَ لِلنِّسَاءِ مَكْرُمَةٌ، فَلَوِ اجْتَمَعَ أَهْلُ مِصْرٍ عَلَى تَرْكِ الْخِتَانِ قَاتَلَهُمُ الْإِمَامُ لِأَنَّهُ مِنْ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ وَخَصَائِصِهِ. وَاخْتَلَفُوْا فِي وَقْتِهِ، قِيْلَ حَتَّى يَبْلُغَ، وَقِيْلَ إِذَا بَلَغَ تِسْعَ سِنِيْنَ، وَقِيْلَ عَشْرًا، وَقِيلَ مَتَى كَانَ يُطِيْقُ أَلَمَ الْخِتَانِ خُتِنَ وَإِلَّا فَلَا

Artinya:
"Dan Khitan hukumnya sunnah untuk laki-laki dan itu termasuk fitrah, adapun bagi perempuan maka hanyalah sebuah kehormatan. Dan ketika suatu penduduk kota meninggalkan Khitan secara berjamaah maka diperangi oleh pemimpin. Karena Khitan termasuk syiar dan keistimewaan agama Islam. adapun perbedaan pendapat dalam waktunya, dikatakan sampai baligh, dikatakan pula ketika umur sembilan tahun, dan dikatakan sepuluh tahun. Dan dikatakan pula ketika dia mampu menahan sakitnya dikhitan, dan ketika tidak kuat maka tidak dikhitan. (Al-Ikhtiyar Li Ta’lilil Mukhtar hal.167 jilid 4)

Imam Al Hasfaki, beliau juga berpandangan sama dengan Imam Al Baldahi. Yaitu Khitan hukumnya sunnah. Namun jika semua penduduk meninggalkan maka mereka harus diperangi. Karena telah meninggalkan syiar Islam dan tidak boleh ditinggalkan kecuali karena udzur, seperti seseorang yang sudah tua dan belum dikhitan, maka dibolehkan untuk meninggalkanya karena keidakmampuannya tersebut.

وَ) الْأَصْلُ أَنَّ (الْخِتَانَ سُنَّةٌ) كَمَا جَاءَ فِي الْخَبَرِ (وَهُوَ مِنْ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ) وَخَصَائِصِهِ (فَلَوْ اجْتَمَعَ أَهْلُ بَلْدَةٍ عَلَى تَرْكِهِ حَارَبَهُمْ) الْإِمَامُ فَلَا يُتْرَكُ إلَّا لِعُذْرٍ وَعُذْرُ شَيْخٍ لَا يُطِيقُهُ ظَاهِرٌ

Artinya:
"(Dan) asal hukum dari (khitan adalah sunnah). Seperti yang diperintahkan dalam hadist. (Dan khitan merupakan syiar Islam) dan keistimewaan agama Islam. (Namun ketika ditinggalkan oleh skelompok penduduk suatu daerah secara berjamaah) maka Imam harus memerangi kecuali karena sebab 'udzur, salah satu 'udzur adalah seseorang yang sudah tua dan tidak mampu adalah sebuah udzur yang jelas".

وَخِتَانُ الْمَرْأَةِ لَيْسَ سُنَّةً بَلْ مَكْرُمَةً لِلرِّجَالِ وَقِيْلَ سُنَّةٌ

Artinya:
"Adapun Khitan bagi perempuan hukumnya tidak sunnah, akan tetapi sebuah penghormatan untuk laki-laki (suaminya), dan dikatakan hukumnya sunnah". (Addur Al Mukhtar Wa Hasyiah Ibn Abdin hal.751 jilid 6)

MADZHAB MALIKI.
Ibn Abdil Barr sependapat dengan ulama Hanafiyah, beliau menyebutkan bahwa Khitan sunnah bagi laki-laki dan sebuah kehormatan bagi perempuan.

ومن فطرة الإسلام عشر خصال الختان وهو سنة للرجال ومكرمة للنساء وقد روي عن مالك أنه سنة

Artinya:
"Dan termasuk dalam Fitrah Islam 10 perbuatan, (diantaranya) Khitan. Dan hukumnya adalah sunnah bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan. Dan diriwayatkan dari Malik bahwa khitan bagi perempuan juga sunnah". (Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah hal.1136 jilid 2)

Al Qorofi, menyebutkan bahwa Khitan hukumnya sunnah muakkadah baik bagi perempuan ataupun laki-laki. Dalam kitabnya Ad-Dzakhirah beliau menyebutkan:

قالَ ابْنُ يُونُسَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ فِي الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ

Artinya:
"Ibnu Yunus berkata: Khitan hukumnya sunnah muakkadah bagi laki-laki dan perempuan".(Ad-Dzakhiroh hal. 166 jilid 1).

MADZHAB SYAFI'I
Imam Nawawi memiliki pandangan lain mengenai hukum Khitan ini, beliau berbeda pendapat dengan dua madzhab sebelumnya. Ketika mereka hanya mensunnahkan Khitan maka Imam Nawawi mewajibkan Khitan baik bagi laki-laki ataupun perempuan.

وَالْخِتَانُ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ عِنْدَنَا

Artinya:
"Dan Khitan hukumnya wajib baik laki-laki maupun perempuan menurut madzhab kami. (Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzab hal 300 jilid 1).

Syaikhul Islam Zakariya Al Anshori, juga sependapat dengan Imam Nawawi untuk mewajibkan Khitan dengan syarat ia sudah baligh. Selain itu beliau juga menjelaskan mengenai batasan yang dikhitan. Yaitu sampai terbukanya kepala kemaluan laki-laki, dan dipotongnya sebagian klitoris dari kemaluan perempuan.

وَالْخِتَانُ وَاجِبٌ وَإِنَّمَا يَجِبُ بِالْبُلُوْغِ

Artinya:
"Dan khitan hukumnya wajib. Dan kewajibanya adalah ketika seseorang sudah baligh".

لَا بُدَّ مِنْ كَشْفِ جَمِيعِ الْحَشَفَةِ فِي الْخِتَانِ) لِلرَّجُلِ بِقَطْعِ الْجِلْدَةِ الَّتِي تُغَطِّيْهَا فَلَا يَكْفِيْ قَطْعُ بَعْضِهَا وَيُقَالُ لِتِلْكَ الْجِلْدَةِ الْقُلْفَةُ (وَ) مَنْ (قَطْعِ شَيْءٍ مِنْ بَظْرِ الْمَرْأَةِ)

Artinya:
"Ketika dikhitan maka harus sampai terbuka kepala kemaluan laki-laki). Yaitu dengan memotong semua kulit yang menutupi kepala kemaluan. Dan tidak cukup hanya dipotong (sebagiannya saja. Dan kulit tersebut disebut Qulfah. (Dan) pada perempuan (dipotong sebagian dari klitoris". (Asna Al Matholib Fi Syarhi Roudh At Tholib. Hal 164 jilid4).

MADZHAB HANBALI
Ibnu Qudamah  sepakat dengan madzhab Hanafi dan Maliki dengan mengatakan bahwa Khitan hukumnya wajib hanya bagi laki-laki. Dan sebuah kehormatan bagi perempuan dan bukan sebuah kewajiban. Seperti dalam kitabnya Al-Mughni beliau menegaskan:

فَصْلٌ: فَأَمَّا الْخِتَانُ فَوَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ، وَمَكْرُمَةٌ فِي حَقِّ النِّسَاءِ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهِنَّ

Artinya:
"Fashl: adapun Khitan maka hukumnya wajib bagi laki-laki, dan sebuah kehormatan bagi perempuan. Bukan merupakan kewajiban bagi para perempuan". (Al-Mughni hal. 64 jilid 1).

Ibnu Taimiyyah juga mengatakan wajib Khitan. Dan kewajibanya ketika seseorang sudah dibebani kewajiban bersuci dan sholat. Yaitu ketika sudah baligh.

وَيَجِبُ الْخِتَانُ إذَا وَجَبَتْ الطَّهَارَةُ وَالصَّلَاةُ، وَيَنْبَغِيْ إذَا رَاهَقَ الْبُلُوغَ أَنْ يَخْتَتِنَ كَمَا كَانَتْ الْعَرَبُ تَفْعَلُ لِئَلَّا يَبْلُغَ إلَّا وَهُوَ مَخْتُوْنٌ

Artinya:
"Dan wajib Khitan ketika seseorang telah dibebani kewajiban bersuci dan sholat. Dan seyogyanya seseorang ketika mendekati baligh untuk dikhitan seperti kebiasaan bangsa Arab. Hal ini dilakukan supaya seseorang tidak mencapai baligh kecuali telah dikhitan"

DALIL SERTA ALASAN DIWAJIBKANNYA KHITAN

Khitan merupakan sebuah kebiasaan umat Muslim sebagai salah satu media untuk menyucikan diri, sekarang yang jadi pertanyaan kenapa Khitan ini sangat dianjurkan bahkan diwajibkan dalam Islam ? berikut jawabannya:

Pertama.
Khitan sangat dianjurkan karena terdapat dalam beberapa hadits yang menerangkan mengenai perintah Khitan ini. Diantaranya:

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ 

Artinya:
"Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan berkhitanlah.” (H.R. Abu Daud dan Baihaqi, dan dihasankan oleh Al-Albani).

Selain itu karena khitan merupakan perkara yang diajarkan oleh nabi Ibrahim maka sudah selayaknya kita mengikuti hal tersebut, dalam salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan:

وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْناً مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهُ للهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفاً وَاتَّخَذَ اللهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلاً 

Artinya :
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya". (Q.S. An Nisa’: 125

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan

قَالَ رَسُوْلُ اللٌهِ صَلٌَى الله ُعَلَيْهِ وَسَلٌََمَ :اِخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ مَااَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَا نُوْنَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُوْمِ

Artinya:
"Telah bersabda Rasulullah S.A.W : Ibrahim kekasih Allah berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan ia berkhitan dengan kapak (Al-Qadum)". (H.R.Bukhari)

Dalil lain mengenai khitan ini antara lain:

إذ جلس بين شهبها الأربع و مسّ الختان الختان فقد وجب الغسل

Artinya:
"Apabila seseorang laki-laki berada di empat cabang wanita (bersetubuh dengan wanita) dan khitan menyentuh khitan, maka wajib mandi". (H.R. Muslim)

Disebutkan juga dalam hadits lain, yakni:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: اِذَا جَاوَزَ اْلخِتَانُ اْلخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ، فَعَلْتُهُ اَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ ص فَاغْتَسَلْنَا

Artinya:
"Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Apabila khitan bertemu khitan, maka sungguh telah wajib mandi. Aku telah melakukannya dengan Rasulullah S.A.W, maka kami mandi”. (H.R. Tirmidzi juz 1, hal. 72, no. 108)

Kedua.
Khitan dianjurkan karena ia berfungsi sebagai pembeda. Lebih-lebih untuk membedakan antara kaum Muslimin dan Nashrani. Pernah suatu ketika tatkala di medan pertempuran umat Islam mengenali orang-orang muslim yang terbunuh dengan Khitan. Kaum muslimin, bangsa Arab, dan kaum Yahudi dikhitan, sedangkan kaum Nashrani tidak demikian. Karena Khitan sebagai pembeda, maka khitan menjad wajib.

Dari Ibn Umar beliau berkata: Rasulullah S.A.W bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya:
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”. (H.R. Abu Dawud, dengan sanad hasan)

Ketiga.
Sebagai pelajaran bagi kita bahwa terdapat pengecualian untuk memotong anggota tubuh yang diperbolehkan. Pada dasarnya memotong sesuatu dari badan hukumnya haram jika tidak ada ‘udzur, Dhorurot, maupun sesuatu yang mewajibkan untuk memotong anggota tubuh tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Khitan tergolong hukum sunnah bahkan wajib, dengan adanya sesuatu yang mewajibkan itu maka diperbolehkan baginya untuk memotong anggota tubuh tersebut.

Keempat
Khitan sebagai salah satu cara untuk menghilangkan najis dari tubuh. Apabila tidak dikhitan, maka sisa-sisa air kencing akan tertahan pada Qulub yang menutupi kepala penis. Sehingga jika dikhitan tidak ada lagi sisa air kencing yang tertahan pada kulub tersebut. Dengan demikian, khitan menjadikan tubuh bebas dari najis.

HIKMAH DAN FADHILAH KHITAN

1. Sebagai tanda ketaatan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana seorang budak zaman dahulu, bahwa ketika mereka diberi tanda pada telinga atau badannya oleh sang majikan berarti hal tersebut menunjukkan penghambaan diri mereka kepada majikannya. Jika budak tersebut lari dari majikannya, ia dikembalikan kepada majikannya melalui perantara tanda tersebut. Hal demikian juga berlaku pada Khitan, barangsiapa yang telah berkhitan dengan memotong kulit kemaluannya tersebut, berarti dia telah menunjukkan penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Khitan adalah simbol kesucian dan kebersihan diri.
Bagaimana tidak, saat seseorang tersebut dikhitan maka segala bentuk najis yang mulanya menempel pada kulit kemaluannya (Qulub) menjadi bersih, sehingga akan terjaga kesuciannya, karena tidak ada sisa kencing yang tersisa dan sudah terbasuh merata dengan maksimal. Selain itu dengan berkhitan akan menjauhkan dirinya dari berbagai macam penyakit yang menempel pada kulit kemaluannya tersebut.

3. Mengontrol syahwat pada perempuan.
Seorang wanita yang berkhitan maka nafsunya dapat dikendalikan. Sebaliknya, Jika dibiarkan tidak dikhitan, maka nafsunya akan sejajar dengan perilaku hewan. Kesalahan yang terkadang dilakukan dalam mengkhitan wanita adalah dengan memotong habis daging yang menonjol pada bagian atas vagina (Klitoris), hal ini mengakibatkan seorang wanita akan sama dengan benda mati yang tidak mempunyai rasa dan dapat menjadikannya dingin terhadap laki-laki atau bahkan bisa membuat seseorang tidak puas dengan jima’ yang dilakukannya. Oleh sebab itu, untuk mengkhitan perempuan harus diperhatikan juga tata caranya agar tidak menyebabkan hilangnya syahwat wanita secara keseluruhan.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ 

Artinya:
“Dalam hadits Ummu `Athiyyah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi sebagai pengkhitan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Janganlah dihabiskan. Sesungguhnya, itu akan menguntungkan wanita dan lebih dicintai suami”. (H.R. Abu Dawud, dengan sanad yang Hasan).

4. Menghindarkan diri dari gangguan syetan.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Syetan suka berdiam pada tempat-tempat yang kotor dan jorok, salah satunya pada kemaluan yang tidak dikhitan karena didalamnya terdapat kotoran sisa-sisa air kencing yang membuat syetan meniup-niupkan dirinya pada kemaluan seseorang tersebut. Dengan adanya Khitan maka seseorang akan terhindar dari godaan Syetan tersebut.

WAKTU PELAKSANAAN KHITAN

Pertama: Waktu yang diwajibkan.
Yaitu ketika seseorang sudah masuk usia baligh, tatkala dia telah diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak diwajibkan sebelum itu. (Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 110).

Di dalam hadits, Said bin Jubair berkata: “Abdullah bin Abbas ditanya ‘Berapa usia engkau ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal?’, ia menjawab, ’Aku waktu itu baru berkhitan, dan mereka tidaklah berkhitan kecuali sudah dekat baligh’. (H.R. Bukhari dalam Fathul Bari (11/88).

Kedua : Waktu Mustahab (yang dianjurkan) untuk berkhitan
Yaitu waktu Itsghar (ketika gigi susu anak berubah menjadi gigi dewasa), lebih tepatnya masa ketika seorang anak sudah dianjurkan untuk shalat. 

Ketiga : Waktu yang diperbolehkan
Yaitu semua waktu selain keterangan di atas.

Lantas bagaimana jika mengkhitan seseorang ketika ia masih bayi ? atau hari ketujuh setelah kelahirannya ? apa diperbolehkan ?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, 

Pertama : Tidak dilarang dan juga tidak dianjurkan, karena tidak adanya nash mengenai hal ini. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau ditanya tentang khitan bayi? Beliau menjawab, ”Tidak tahu. Aku tidak mendapatkan satupun khabar (dalil)”.

Kedua : Makruh karena Tasyabbuh (meniru) dengan Yahudi. Abu Abdillah (Imam Ahmad) memakruhkannya sambil berkata: “Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan ini juga alasan Hasan dan Malik rahimahullah”.

Ketiga: Istishab (dianjurkan), dan ini pendapat Wahab bin Munabbih, dengan alasan lebih mudah dan tidak menyakitkan bagi bayi. Sedangkan sebagian lagi membawanya kepada hukum asal, yaitu boleh. Di antaranya pendapat Ibnul Munzir. 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Syaikh kami (Ibnu Taimiyyah) berkata, ’Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan Isma’il ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah (tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi anak cucunya.Wallahu a’lam’.” 

TATA CARA KHITAN

BAGI LAKI-LAKI
Mengenai tata cara khitan bagi laki-laki yakni dengan cara membuang kelebihan kullit pada ujung kelamin laki-laki atau biasa disebut Qulub. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membuang Qulub ini, salah satu caranya dengan metode operasi dan bedah ringan yang kini marak dijadikan salah satu metode dalam Khitan.

BAGI PEREMPUAN
Imam Mawardi mengatakan bahwa khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas vagina perempuan yang berbentuk mirip cengger ayam atau yang biasa disebut dengan Klitoris. Yang dimaksud disini bukan memotong keseluruhan Klitoris melainkan hanya sebagian saja yang dipotong. Sepakat dengan Imam Mawardi, Imam Nawawi juga menjelaskan hal yang sama bahwa khitan pada perempuan adalah memotong bagian kulit lebih yang ada di atas vagina perempuan.

Namun pada kenyatannya tidak sedikit yang mengkhitan perempuan dengan berlebih-lebihan pada bagian alat vital perempuan. Seperti yang dikutip Dr. Muhammad bin Lutfi Al-Sabbag dalam bukunya tentang Khitan bahwa kesalahan fatal dalam melaksanakan khitan perempuan banyak terjadi di masyarakat Muslim Sudan dan Indonesia.

Kesalahan tersebut tidak hanya memotong kulit bagian atas alat vital perempuan, namun memotong keseluruhan vagina hingga semua daging yang menonjol pada alat vital perempuan, termasuk Klitoris sehingga yang tersisa hanya saluran air kencing dan saluran rahim. Khitan seperti ini dalam masyarakat Arab dikenal dengan sebutan "Khitan Fir'aun".

إذا خفضت أَشِمِّي ولا تَنْهَكِي فإنه أحظى للزوج وأسرى للوجه

Artinya:
"Apabila Engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit Klitoris) semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami". (H.R. Thabrani dan Baihaqi)

Penelitian medis membuktikan bahwa khitan jenis ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi perempuan baik secara kesehatan maupun psikologis, seperti menyebabkan ketidakstabilan perempuan hingga mengurangi gairah seksualnya. Bahkan sebagian ahli medis menyatakan bahwa khitan model ini juga bisa menyebabkan berbagai penyakit kelamin pada perempuan.

Bila melaksanakan khitan perempuan bisa menimbulkan dampak negatif, maka bisa dipastikan khitan tersebut menjadi haram untuk dilakukan. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut beberapa kalangan ulama kontemporer menyatakan bahwa apabila tidak bisa terjamin pelaksanaan khitan perempuan secara benar, terutama bila itu dilakukan terhadap anak perempuan yang masih bayi, maka sebaiknya tidak melakukan khitan pada perempuan. 

ORANG YANG TIDAK PERLU UNTUK DIKHITAN

Kewajiban khitan menjadi gugur saat seseorang dalam keadaan berikut

Pertama: Seseorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang seperti ini tidak perlu dikhitan kembali. Akan tetapi cukup mengisyaratkan untuk melewatkan pisau pada kelamin khitan. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Dianjurkan pisau melewati tempat khitan, karena itu yang dapat dia lakukan, dan Nabi telah bersabda,’Jika aku perintahkan, maka lakukan semampu kalian”. (H.R Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337).

Kedua: Saat seseorang tidak mampu melaksanakan Khitan, bisa jadi karena tidak kuat menahan rasa sakit ketika berkhitan, sudah tua, atau yang lainnya, dan jika dipaksa untuk berkhitan ditakutkan seseorang menjadi lemah atau bahkan kematian. Jika seperti ini maka ia tidak diwajibkan bagi seseorang untuk berkhitan

Ketiga: Seseorang masuk Islam ketika sudah dewasa, dan jika dikhitan dikhawatirkan ia akan meninggal dunia.

Keempat: Seseorang yang sudah meninggal namun belum berkhitan, maka tidak perlu dikhitankan, karena khitan disyariatkan ketika seseorang masih hidup, dan kewajiban itu telah hilang dengan kematiannya tersebut, maka dalam hal ini tidak ada mashlahat untuk mengkhitannya.

BEBERAPA KESALAHAN DAN KEMUNKARAN SEPUTAR PERMASALAHAN KHITAN

  • Mengadakan acara walimatul khitan. Amaliah ini sebenarnya tidak ada dalam syariat, bahkan sebagian menyebutkan bahwa termasuk sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid’ah. Namun kembali lagi pada maslahat dan niat dari shohibul hajat, jika ia melangsungkan acara walimatul khitan sebagai sarana untuk mendoakan orang yang dikhitan maka sah-sah saja, meskipun Bid’ah namun bid'ah tersebut termasuk kedalam kategori bid'ah Hasanah yang mana hal tersebut serupa dengan acara pembacaan yasin dan tahlil yang bertujuan untuk Taqarrub kepada Allah dan Rasulnya.
  • Menguliti seluruh kulit zakar ketika berkhitan.
  • Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama khitan bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
  • Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
  • Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.

0 comments:

Post a Comment