//]]> BIOGRAFI KH. HASYIM ASY'ARI LENGKAP (SANG PENDIRI NU) - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

October 19, 2017



Spirit Muslim. Sosok KH. Hasyim Asy'ari sangat identik dengan keberadaan ormas NU (Nahdhatul Ulama). Biografi lengkap beliau cukup terkenal dikalangan para ulama-ulama, terutama ulama Indonesia. Hal ini tak lain karena kegigihan beliau dalam memperjuangkan agama Islam di tanah air. Sosok KH. Hasyim Asy'ari yang kharismatik ini juga memiliki peran dalam melawan dan mengusir para penjajah dimasa lalu. Hingga suatu ketika beliau mendapatkan isyarat dari gurunya yang ada di Madura yakni Kyai Kholil Bangkalan untuk mendirikan sebuah organisasi yang mampu mewadahi aspirasi umat Muslim tanah air. Untuk lebih lengkapnya berikut kami sajikan biografi lengkap KH. Hasyim Asy'ari lengkap dengan perjalanan hidupnya dalam memperjuangkan hak-hak Islam.

SEKILAS BIOGRAFI KH. HASYIM ASY'ARI
  • Nama Lengkap: KH. Muhammad Hasyim Asy'ari
  • Kelahiran: Jombang, 10 April 1875 M (34 Dzulqa'dah 1287 H).
  • Wafat: Jombang, 25 Juli 1947 M
  • Orang tua: Kyai Asy'ari dan Nyai Halimah
  • Guru: KH Muhammad Saleh Darat, Semarang, KH Cholil Bangkalan, Kyai Ya’qub, Sidoarjo, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Al Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf, Sayyid Husain Al Habsyi, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
  • Murid: KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang, KH Bisri Syansuri Pesantren Denanyar-Jombang, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim (anaknya), KH Achmad Shiddiq, Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH R Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Shaleh (Tayu)
  • Karya: Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin, Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat, Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh, Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal, Adabul ‘Alim Wa Muata’alim, Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah, Ziyadah Ta’liqot.

NASAB DAN RIWAYAT KELUARGA

Beliau lah sosok dibalik lahirnya NU. Beliau kelahiran Jombang 10 April 1875 (24 Dzulqa’dah 1287 H) tepatnya di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau wafat  pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang.

KH Hasyim Asyari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara, yakni Nafi’ah, Ahmad Saleh, Muhammad Hasyim, Radiyah, Hasan, Anis, Fatonah, Maimunah, Maksun, Nahrowi, dan Adnan.

Beliau merupakan keturunan dari keluarga seorang kyai yang mana beliau adalah putra dari pasangan Kyai Asy'ari dan Nyai Halimah. Ayahnya yakni Kyai Asy'ari merupakan pengasuh pondok pesantren di selatan kota Jombang tepatnya di desa Keras yang bernama Pesantren Asy’ariyyah. Kakeknya yakni Kyai Utsman merupakan pemimpin Pesantren di Gedang, sebelah utara Jombang.

Sejak kecil KH. Hasyim tinggal dan diasuh oleh kakek dan neneknya di desa Gedang. Tak lama setelah itu beliau ikut kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.

Dari keturunan ibu, KH. Hasyim Asy’ari memiliki nasab hingga kepada Jaka Tingkir yang mana Jaka Tingkir merupakan keturunan dari Sunan Giri, dan sunan giri memiliki nasab hingga kepada Rasulullah S.A.W, berikut nasab KH. Hasyim Asy’ari hingga kepada Jaka tingkir:

Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI.

KH. Hasyim Asy'ari telah menikah sebanyak tujuh kali dan semua istrinya adalah putri dari ulama. Empat istri diantaranya bernama Khadijah, Nafisah, Nafiqah, dan Masrurah. Pernikahan beliau dengan Nyai Khadijah dikaruniai satu orang anak bernama Abdulla

Kemudian beliau menikah dengan Nyai Nafiqoh dan dikaruniai 10 putra dan putri, diantaranya:
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf.

Akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliau dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub

PENDIDIKAN

Pendidikan agama pertama kali yang beliau dapatkan berasal dari kakek dan neneknya karena memang beliau sejak kecil sudah diasuh dan dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Tak selang beberapa lama beliau diajak orang tuanya untuk pindah di desa Keras dimana ayahnya mendirikan pesantren Asy’ariyyah di desa tersebut. Di desa inilah beliau mendapatkan pelajaran agama yang begitu luas yang mampu membawa perubahan kepada hidupnya. Sudah tidak diragukan lagi bahwa beliau memang pada dasarnya memiliki kecerdasan yang cukup mumpuni, didukung dengan kondisi lingkungan keluarga dan pesantren yang terbilang cukup kondusif.

Berkat kecerdasan dan dukungan tersebut lah beliau dalam waktu yang relatif singkat sudah mampu memahami beberapa ilmu agama dengan baik. Bahkan jiwa kepemimpinannya sudah mulai terbentuk saat beliau berumur 13 tahun, yang lebih mencengangkan lagi pada usia tersebut beliau sudah mampu untuk membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar dari pada beliau. Subhanallah.

PENGEMBARAAN MENCARI ILMU

Merasa tidak puas dengan ilmu yang didapatkan dari keluarganya selama 9 tahun, akhirnya KH. Hayim Asy’ari melanjutkan pengembaraannya mencari ilmu. Beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu pada saat beliau berumur 15 tahun.

Awal mula beliau bertekad menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian beliau pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Lalu beliau pindah lagi di Pesantren Trenggilis, Semarang. Namun rasa puasnya akan ilmu agama masih belum tercukupi dan beliau memutuskan untuk pindah lagi di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Kholil.

Hingga pada akhirnya tak lama di bangkalan, beliau pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo, pesantren asuhan Kyai Ya’qub. Di pesantren inilah, sepertinya Kyai Hasyim merasa benar-benar menemukan kepuasannya untuk memperdalam ilmu agama yang diinginkan karena memang Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang memiliki pandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Selama lima tahun Hasyim menyerap ilmu di Pesantren ini. Rupanya selama itu Hasyim mampu mencuri hati Kyai Ya’qub berkat kecerdasan dan kealimannya tersebut.

Disana Kyai Hasyim tidak hanya mendapat ilmu, melainkan juga istri bernama Khadijah yang merupakan puteri dari Kyai Ya’qub. Beliau menikah dengan Khadijah pada umur yang terbilang cukup muda, yakni pada usia 21 tahun beliau melangsungkan pernikahannya tersebut.

Tidak lama setelah menikah, Kyai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji bersama. Beliau juga menetap sementara disana selama kurang lebih Tujuh bulan. Beliau pun dikaruniai seorang putera yang bernama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang istri mengalami sakit parah dan akhirnya meninggal dunia. Duka beliau tidak cukup sampai disitu saja, selang empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah, hingga beliau (KH. Hasyim Asy'ari) memutuskan pulang kembali ke Tanah Air.

Tahun 1893 M / 1903 H, beliau memutuuskan untuk kembali ke Mekkah dan menetap disana selama 7 tahun. Namun kali ini beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih tak terelakkan lagi tatkala beliau kembali ke tanah suci Makkah. Hal tersebut tidak lantas membuat beliau putus asa dan larut dalam kesedihan, justru hal itu mampu membangkitkan semangat baru bagi Kyai Hasyim untuk lebih menekuni ibadah dan memperdalam lagi ilmu pengetahuannya.

Tak lupa beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah seperti padang Arafah, Maqam Rasulullah, Gua Hira, dan tempat-tempat lain untuk memanjatkan doa-doanya.

PESANTREN TEBUIRENG

Tahun 1899 beliau kembali dari tanah suci dan mengajar di pesantren milik kakeknya yakni Kyai Utsman. Selang beberapa waktu beliau membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kurang lebih 200 meter sebelah barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870.

Dukuh Tebuireng terletak kurang lebih 1 km dari arah timur Desa Keras. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal sekaligus cikal bakal Pesantren Tebuireng. Pada bagian depan bangunan ini beliau memanfaatkannya sebagai tempat mengajar dan salat berjamaah, sedangkan bagian belakang dijadikan tempat tinggal beliau. Pada saat itu santrinya masih berjumlah 8 orang, dan tiga bulan berikutnya mengalami peningkatan menjadi 28 orang.

Dalam kesehariannya beliau juga menyempatkan diri untuk untuk memeriksa sawahnya tersebut, biasanya dua hari dalam seminggu saat beliau istirahat tidak mengajar. Terkadang beliau juga pergi ke Surabaya untuk menjual kuda, besi dan hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Selang 2 tahun setelah membangun pesantren, Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.

Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Kyai Hasyim memang terkenal mahir dalam mempelajari ilmu hadits, bahkan berkat kemahirannya tersebut setiap Ramadhan tiba Kyai Hasyim rutin menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama satu bulan penuh. Kajian tersebut mampu menyita perhatian umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali mantan gurunya sendiri yakni Kyai Kholil. 

Ribuan santri pun banyak yang menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Berkat Barakah serta karomah yang dimiliki beliau, para pengikutnyapun tak segan memberi gelar kehormatan kepada beliau dengan gelar Hadratus Syaikh (Tuan guru besar). Selain itu berkat ketinggian ilmu yang dimilikinya mampu membuat santri-santri yang telah berguru kepada beliau menjadi para ulama tersohor. Sebut saja KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH. Achmad Siddiq adalah salah satu contoh ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.

Tak mengherankan memang, dengan begitu banyaknya santri di Tebu ireng menjadikan Tebuireng dinobatkan menjadi pesantren paling besar dan paling berpengaruh di Jawa pada abad 20an. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura.

Keberhasilan beliau dalam memimpin para pengikutnya tidak lepas dari jasa para guru-gurunya, salah satunya Muhammad Abduh yang mana Muhammad Abduh juga guru dari KH. Ahmad Dahlan sang penggagas Muhammadiyyah. Muhammad Abduh adalah seorang guru dari Makkah yang sangat gencar untuk melakukan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Ide-ide reformasi Islam yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh di Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah, tidak terkecuali Kyai Hasyim. Ide reformasi Muhammad Abduh itu antara lain:

Pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas.

Ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern, dan

Keempat, mempertahankan Islam.

Usaha Muhammad Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam dimaksudkan agar Islam dapat berperan kembali memegang tanggung jawab dan kendali yang lebih besar dalam dimensi sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh gencar melancarkan ide agar umat Islam melepaskan diri dari pola pemiikiran para mazhab, dengan demikian diharapkan umat Islam secara perlahan akan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Kyai Hasyim merasa bahwa ini tidak sepenuhnya benar, Kyai Hasyim memang menerima ide-ide Muhammad Abduh sebagai dorongan positif bagi umat Islam, namun ia memiliki pemikiran yang berseberangan dengan pemikiran gurunya tersebut, karena Kyai Hasyim tidak setuju dengan pemikiran yang mengharuskan ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan Madzhab.

Kyai Hasyim berkeyakinan bahwa tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadits tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang terdapat dalam sistem Madzhab.

BERPERAN MENGUSIR PENJAJAH

Masa awal beliau membangun pesantren di Tebuireng merupakan masa-masa perjuangan yang begitu berat yang pernah dialami Kyai Hasyim karena pada masa itu bersamaan dengan masa penjajahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Hingga Pada tahun 1913 M, Belanda mengirimkan intel seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun naas intel tersebut tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Hal ini dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan penganiayaan dan pembunuhan.

Namun siapa sangka, ditengah pemeriksaan, Kyai Hasyim sangat piawai dalam menepis semua tuduhan tersebut hingga Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Namun piha belanda rupanya belum puas dan tidak jera untuk mencari-cari kesalahan dan menangkap beliau kembali, akhirnya Belanda pun kemudian mengirimkan pasukan-pasukannnya untuk mengobrak-abrik pesantren yang baru berdiri 10 tahunan itu. Akibat dri aksi para pasukan belanda tersebut, hampir seluruh bangunan pesantren menjadi rusak, kitab-kitab yang ada di pesantren pun dihancurkan dan dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.

Kyai Hasyim merupakan salah satu dari sekian ulama yang mendapatkan perhatian serius dimata para penjajah, karena keberadaan beliau memiliki pengaruh yang sangat besar pada masa itu. Oleh karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, pihak penjajah pun berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya dengan cara memberi anugerah bintang jasa kepada Kyai Hasyim tahun 1937, namun dengan mentah-mentah beliau menolak anugerah tersebut dan berbalik membuat penjajah terutama Belanda menjadi kelimpungan. 

Berbagai cara beliau lakukan untuk melumpuhkan kekuasaan Belanda salah satunya dengan memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah Jihad (perang suci). Mengetahui taktik beliau ini, Belanda sangat kerepotan dibuatnya, karena dengan adanya fatwa tersebut membuat masyarakat tergerak untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda di berbagai daerah.

Selain itu Kyai Hasyim juga pernah memfatwakan bahwa haram untuk berhaji dengan memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Adanya fatwa tersebut membuat Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi kebingungan. Karena banyak umat Islam pada waktu itu telah mendaftarkan diri kemudian membatalkan niatnya untuk berhaji dengan kapal Belanda.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Berbeda dengan Belanda yang begitu terlihat agresif kepada umat Islam di Indonesia, Jepang dengan liciknya menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi. Di salah satu pihak jepang memusuhi umat Islam, namun di pihak lain mereka berupaya mempengaruhi para pemimpin Muslim sebagai upaya untuk memperoleh dukungan.

Kyai Hasyim dan keluarganya pun tidak luput dari sasaran tindakan represif Jepang ini. mereka melakukan penahanan terhadap Kyai Hasyim beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Penahanan Ini mereka lakukan karena Kyai Hasyim menolak untuk melakukan Seikerei. Yakni kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Namun Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab bagi beliau hanya kepada Allah lah semua orang wajib tunduk bukan kepada sesama manusia atau bahkan kepada selain Allah. Akibat penolakan tersebut Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, Mojokerto, hingga akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Kejadian unik terjadi saat Kyai Hasyim ditahan oleh Jepang, yang mana sejumlah santri meminta ikut dipenjara juga bersama gurunya karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Kyai Hasyim berada di pihak yang benar. Berbagai penyiksaan pun dialami oleh Kyai Hasyim, beliau disiksa hingga salah satu jari tangannya patah dan tidak dapat digerakkan.

Penahanan yang dilakukan terhadap Kyai Hasyim mengakibatkan kegiatan belajar mengajar di Tebuireng menjadi lumpuh total. Selain itu Penahanan terhadap Kyai Hasyim juga mengakibatkan keluarga beliau tercerai berai, salah satunya isteri Kyai Hasyim yakni Nyai Masruroh, beliau terpaksa harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang akibat penahanan Kyai Hasyim tersebut.

Tepat Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan kyai Hasyim dipenjara, beliau dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. pembebasan Kyai Hasyim juga tak lepas dari jasa KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, tentara NICA bentukan pemerintah Belanda bersama dengan pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang.

Tidak tinggal diam, sekali lagi Kyai Hasyim bersama para ulama bergegas untuk menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi ini ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Perang pun tidak terelakkan, perang rakyat semesta meletus dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari berbagai daerah dengan membawa senjata apa adanya guna melawan pasukan penjajah tersebut. Hingga Peristiwa 10 Nopember kemudian dibadikan sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945, tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (MASYUMI). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

NAHDHATUL ULAMA

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran).

Penggagas utama dibalik pendirian Taswirul Afkar adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), beliau merupakan salah satu murid Kyai Hasyim. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, maupun politik.

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi dengan ruang lingkup yang lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Selang beberapa waktu berdirilah Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Nahdhatut Tujar ini berfungsi untuk memperbaiki perekonomian rakyat kala itu. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagai kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Puncaknya adalah saat Konggres Al-Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Makkah.

Namun sangat disayangkan, aspirasi dari kelompok tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi untuk bermadzhab), hingga akhirnya dibawah pimpinan KH Abdullah Wahab Chasbullah  kelompok ini  membentuk sebuah komite dengan sebutan Komite Hijaz. Komite ini pun berkomitmen untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi.

Hinggga akhirnya Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebutan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan Kyai Hasyim diminta menjadi ketua.

AWAL TERBENTUKNYA IDE NAHDHATUL ULAMA

Berdirinya NU ini tidak bisa lepas dari peran serta dan jasa dari guru Kyai Hasyim yakni Kyai Kholil dari Bangkalan,beliau sebenarnya sudah mengetahui dan merasakan bahwa Khyai Hasyim ingin mendirikan sebuah ormas yang mampu mewakili kelompok Islam tradisional.

Megetahui hal itu, Kyai Kholil lantas mengutus salah seorang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH. R As’ad Syamsul Arifin, pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. As’ad juga dipesani agar setibanya di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Selama perjalanan pun As’ad muda tidak pernah menyentuh tasbih tersebut. Meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangat jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih yang diamanatkan padanya. Ia memiliki prinsip bahwa ”kalung ini adalah amanat Kyai dan yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan As’ad yang ia jaga.

As’ad pun tiba di kediaman Kyai Hasyim dan menyampaikan amanat dari Kyai Kholil untuk memberikan tasbih tersebut dan membacakan surat Thaha kepada Kyai Hasyim. mendengar ayat tersebut dibacakan, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai",  ujarnya lirih sambil meneteskan air mata.

Waktu terus berjalan, namun pendirian organisasi itu belum juga terealisasi karena Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hatinya.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh dengan membawa tasbih lagi dari Kyai Khalil. As’ad tiba disana dan menyampaikan: "Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini", ujar As'ad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya.

"Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu", tambah As’ad.

Kehadiran As’ad yang kedua ini tampaknya membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya telah merestui untuk mendirikan sebuah Jam’iyyah sebagai wadah bagi aspirasi umat Islam. Namun Sayang, sebelum amanat itu terwujud, Kyai Kholil sudah wafat terlebih dahulu.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama.

ALKISAH

Banyak kisah-kisah unik yang terjadi kepada Kyai Hasyim, diantaranya adalah ketika Kyai Hasyim melihat Kyai Kholil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kyai Kholil pun menjelaskan bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kyai Hasyim lantas mengusulkan untuk membeli cincin lagi. Namun, Kyai Kholil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. 

Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kyai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kyai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kyai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kyai Kholil atas ditemukannya cincin tersebut. Dari kejadian inilah Kyai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kyai Kholil. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’.

Selain itu pernah terjadi juga dialog yang mengesankan antara dua ulama besar ini, yakni KH. Hasyim Asy’ari dengan gurunya yakni KH. Mohammad Kholil. Berkat keagungan ilmu yang dimiliki oleh Kyai Hasyim, sang guru yakni Kyai Kholil sangat menghormati muridnya tersebut dan menganggap bahwa Kyai Hasyim sebagai gurunya.

Kyai Kholil mengatakan “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan".

Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya ?, seorang murid tuan sendiri, murid tuan guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid tuan guru selama-lamanya".

Tanpa merasa tersanjung, Kyai Kholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu tuan, dan berguru kepada tuan", ujarnya.

Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menerimanya sebagai santri.

Bahkan ketika keduanya turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, hingga terkadang saling mendahului karena hendak memasangkan sandal ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar daripada gurunya. Dan itu banyak terjadi. Inilah kemuliaan akhlaq yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Kholil

Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, inilah contoh yang sering kita temui pada kehidupan santri-santri pondok dari zaman dahulu hingga zaman sekarang yang mana para santri sangat menghormati dan tawadhu’ terhadap gurunya. Mbah Kholil adalah Kyai yang sangat termasyhur, hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

KYAI HASYIM WAFAT

Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M pukul 9 malam, setelah mengimami Shalat Tarawih, beliau duduk di kursi untuk memberikan kajian seperti mana biasanya. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kyai menemui utusan tersebut dengan didampingi kyai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…”, kemudian beliau memegang kepalanya sebagai isyarat bahwa beliau sedang mengantuk. Para tamu pun pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kyai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kyai Hasyim. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kyai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kyai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kyai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang. Dokter pun segera didatangkan, pada waktu itu dokter yang menangani beliau adalah Dokter Angka Nitisastro.

Beliau divonis mengalami pendarahan pada otaknya. Dokter pun telah berusaha untuk mengurangi pendarahan tersebut, namun Allah berkehendak lain. KH. M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H.

Kepergian beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tengah Pesantren Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab Chazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

KARYA-KARYA

Kyai Hasyim terkenal akan ilmunya yang sangat tinggi, ketinggian ilmunya tersebut beliau curahkan melalui kitab-kitab karangannya. Beliau menulis semua kitab tersebut disela-sela kesibukan beliau mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan.

Namun sayang, kitab-kitab tersebut leyap karena kurangnya dokumentasi. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
  • Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
  • Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
  • Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
  • Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
  • Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
  • Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
  • Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
  • Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan

GURU-GURU

Kyai Hasyim merupakan ulama tersohor yang ahli dalam ilmu agama terutama ilmu Hadits. Ilmu yang dimilikinya pun tidak lepas dari peran dan jasa dari seorang guru yang telah mendidik beliau hingga menjadi seorang ulama besar, diantara guru-guru beliau antara lain:
  1. KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
  2. KH Cholil Bangkalan
  3. Kyai Ya’qub, Sidoarjo
  4. Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
  5. Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
  6. Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
  7. Syaikh Ibrahim Arab
  8. Syaikh Said Yamani
  9. Syaikh Rahmaullah
  10. Syaikh Sholeh Bafadlal
  11. Sayyid Abbas Al Maliki
  12. Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
  13. Sayyid Husain Al Habsyi
  14. Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
  15. Sayyid Abdullah al-Zawawi
  16. Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
  17. Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
  18. Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad

MURID-MURID

Beliau memiliki banyak sekali murid yang begitu ta'dzim terhadap beliau. Para santri tersebut tidak lain hanya ingin menimba ilmu dari beliau serta mengharap barokah serta manfaat dari ilmunya tersebut. Banyak dari santri-santrinya yang menimba ilmu kepada beliau yang akhirnya tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, diantara murid-murid Kyai Hasyim antara lain:
  • KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang.
  • KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang.
  • KH R As’ad Syamsul Arifin.
  • KH Wahid Hasyim (anaknya).
  • KH Achmad Shiddiq.
  • Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India).
  • Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah).
  • Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria).
  • KH R Asnawi (Kudus).
  • KH Dahlan (Kudus).
  • KH Shaleh (Tayu).

0 comments:

Post a Comment