//]]> HUKUMAN SETIMPAL BAGI PELAKU ZINA - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

January 22, 2019


Spirit Muslim. Zina merupakan salah satu pelanggaran berat dalam Islam, bahkan hukumannya sampai berupa hukuman mati (Rajam). Pada dasarnya Islam telah menghalalkan pernikahan untuk kebahagiaan antar lawan jenis yang saling mencintai. Namun nampaknya masih saja ada segelintir manusia yang melanggar aturan Islam perihal hubungan lawan jenis ini dengan dalih mencari kenikmatan, kepuasan, dan lain sebagainya.

Padahal sudah sangat jelas dan gamblang bahwa Islam sangat menentang dan melarang umatnya untuk melampaui batas-batas yang telah ditetapkan dalam Islam, salah satunya adalah Zina. Diharamkannya Zina ini tidak lain dan tidak bukan merupakan salah satu cara penjagaan Allah S.W.T bagi hambanya dari perbuatan yang keji dan hina ini. Tidak main-main, hukuman bagi pelakunya pun juga terbilang cukup berat. Berikut Spirit Muslim akan memaparkan penjelasan singkat perihal hukuman bagi pelaku Zina, mulai dari seperti apa pengertian dan definisi Zina, dalil hukum Zina, apa saja hukuman bagi pezina, hingga syarat-syarat apa saja untuk menerapkan hukuman zina.

DEFINISI ZINA


Zina berasal dari bahasa Arab diambil dari kata: زَنَى يَزْنِي زِنىً ، وزِنَاءً yang artinya "berbuat Fajir (nista)". (Al-Muhith).

Sedangkan dalam istilah Syara’, Zina adalah melakukan hubungan seksual (Jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan tidak juga karena syubhat. (Hasyiyah Ar-Raudh Al-murbi’: 7/312).

Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan:
Zina adalah semua hubungan seksual (Jima’) diluar pernikahan yang sah dan tidak pada nikah Syubhat dan kepemilikan budak. (Definisi ini) secara umum sudah disepakati para ulama Islam, walaupun mereka masih berselisih tentang Syubhat yang dapat menggagalkan hukuman atau tidak. (Bidayah Al-Mujtahid 2/529 dan lihat ar-Raudh Al-Murbi’ syarh Zad Al-Mustaqni’ 7/312 dan Al-Mulakhash Al-Fiqh hal. 528).

DALIL HUKUM ZINA


Islam mengatur perihal hukum Zina berdasarkan dalil-dalil berikut:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati Zina, sesungguhnya Zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q.S. Al-Isra': 32).

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

Artinya:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan Azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam Azab itu, dalam keadaan terhina." (Al-Furqan: 68-69).

Dalam sebuah hadits dijelaskan pula bahwa Zina merupakan kategori dosa besar

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟، قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ للَِّهِ نِداً وَهُوَ خَلَقَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ ، قُلْتُ:ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ 

Artinya:
“Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam: Dosa apakah yang paling besar ? Beliau menjawab: Engkau menjadikan tandingan atau sekutu bagi Allah, padahal Allah Azza wa Jalla telah menciptakanmu. Aku bertanya lagi : “Kemudian apa?” Beliau menjawab: Membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Aku bertanya lagi: Kemudian apa ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab lagi: Kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (H.R. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab, Bab Qatlul-Walad Khasy-yata Ayya`kula Ma’ahu 10/33 dan Muslim dalam kitab Al-Iiman 2/80, kitab Al-Mughni 12/308)

"Sejak dahulu hingga sekarang, kaum Muslimin sepakat bahwa perbuatan Zina itu haram. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaht berkata: Saya tidak tahu ada dosa yang lebih besar dari Zina (selain) pembunuhan." (Ar-Raudh Al-Murbi’: 7/312).

HUKUMAN PEZINA.


Pelaku Zina dalam Islam terbagi menjadi 2 jenis, yakni:
1. Muhshan (Berstatus telah menikah).
2. Ghairu Muhshan/Al-Bikr (Belum menikah).

Pada masa awal Islam, hukuman bagi pelaku zina Muhshan adalah berupa kurungan, sedangkan hukuman bagi Ghairu Muhshan adalah ucapan kasar dan penghinaan yang ditujukan kepadanya. Allah S.W.T berfirman:


وَالّٰتِيْ يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِّسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِّنْكُمْۚ فَإِنْ شَهِدُوْا فَأَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتّٰى يَتَوَفّٰهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللّٰهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا
وَالَّذٰنِ يَأْتِيٰنِهَا مِنْكُمْ فَاٰذُوْهُمَاۚ فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوْا عَنْهُمَاۗ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا


Artinya:
”Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An-Nisa`:15-16).

Kemudian setelah turun surat An-Nur ayat 2, sanksi itu kemudian diganti dengan rajam (dilempar batu) bagi yang telah menikah (Al-Muhshan), dan dicambuk seratus kali bagi yang belum menikah (Al-Bikr) ditambah pengasingan selama setahun.

1. Pezina Al-Muhshan.
Dalam Islam sudah disepakati bahwa hukuman pezina Muhshan adalah Rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan Al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin. (Tashîlul-Ilmam Bi Fiqhi Lil Ahadits Min Bulugh Al-Maram, Shalih Al-fauzan 5/230). 

Ayat yang menjelaskan tentang hukuman Rajam dalam Al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelaskan dalam khuthbahnya :


إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ وَ أَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا : لاَ نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ أَنْزَلَهَا اللهُ وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ الإِعْتِرَاف

Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Qur`an kepada Nabi-Nya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman Rajam dan kami pun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman Rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah telah turunkan. Sungguh (hukuman) Rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (Al-Muhshan), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri”. (H.R Al-Bukhari dalam kitab Al-Hudud, Bab Al-I’tiraf biz-Zina 1829 dan Muslim dalam kitab Al-Hudud no. 1691).

Ini adalah persaksian khalifah Umar bin Al-Khatthab Radhiyallahu ‘anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. (Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu Al-Mumti’ 14/229).

Sedangkan lafadz ayat Rajam tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majjah berbunyi:


وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَهْ نَكَلاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Artinya:
“Lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana." (H.R. Ibnu Majjah kitab Al-Hudud Bab Ar-Rajmu dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majjah 2/81).

Sedangkan dasar hukuman Rajam yang berasal dari sunnah, maka ada riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merajam pezina Al-Muhshan (Ats-Tsaib Al-Zani). (Tashilul-Ilmam bi Fiqhi Lil Ahadits Min Bulugh Al-Marâm, Syaikh Shalih Al-Fauzan 5/230).

Ibnu Al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum Rajam, terus menerus dilempari batu sampai mati. (Al-Mughni 12/310).

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam pezina Al-muhshan baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh negeri islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij. (Al-Mughni 12/309).

Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina Al-muhshan karena ia telah menikah dan tahu cara menjaga kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari ancaman hukuman Zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’) terbantahkan dari semua sisi, dan dia telah mendapatkan kenikmatan sempurna. Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu masih berbuat kriminal) maka kejahatannya (Jinayahnya) lebih keji, sehingga ia berhak mendapatkan tambahan siksaan. (Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/529).

Termasuk pelaku Zina Muhshan adalah Tsayyib (Janda), Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani berkata: "Jika dia (pelaku zina) seorang yang masih perawan dan merdeka, maka dicambuk/dipukul seratus kali, setelah dicambuk diasingkan setahun. Apabila yang berzina itu janda (Tsayyib), maka dicambuk seperti yag dilakukan perawan setelah itu dirajam sampai mati. Dan semua itu cukup dengan sekali pengakuan. Adapun riwayat pengulangan pengakuan dalam beberapa peristiwa, maka maksudnya adalah meminta kepastian. (Ad-Durarul Bahiyyah fil Masa-ilil Fiqhiyyah, Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani (e.i, hal. 137-139).

Rajam berlaku bagi pelaku dalam status Al-Muhshan. Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi sebagai Al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Pernah melakukan Jima’ (hubungan seksual) langsung di kemaluan. Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun belum melakukan jima’ , belum dianggap sebagai Al-Muhshan.
  2. Hubungan seksual (Jima’) tersebut dilakukan berdasarkan pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah.
  3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah.
  4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal.
  5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan Al-Muhshan, apabila kriteria diatas sudah terpenuhi. (Al-Mughni 12/314-318).

2. Pezina Ghairu Muhshan.
Ghairu Muhshan merupakan lawan dari Al-Muhshan, yakni seseorang yang memiliki status belum terikat pernikahan. Seorang pezina Ghairu Muhshan hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :


الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)”. (Q.S. An-Nur/24:2).

Al-Wazir rahimahullah menyatakan : “Para ulama sepakat bahwa pasangan yang belum Al-Muhshan dan merdeka (bukan budak), apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali.

Hukuman Rajam tidak berlaku bagi pezina Ghairu Muhshan karena ada udzur (alasan syar’i) sehingga darahnya masih dijaga, namun hukuman diganti dengan dera (cambuk) untuk membuat pelaku menjadi jera, kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut pendapat yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


خُذُوْا عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً ، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ 

Artinya:
“Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah menjadikan bagi mereka jalan, yang belum Al-Muhshan dikenakan seratus dera dan diasingkan setahun.” (H.R. Muslim).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : “Apabila tidak Muhshan , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan Al-Qur`an dan diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Majmu’ Fatawa 28/333 dinukil dari Taisir Al-Fiqhi Al-Jami’ Li Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah, DR. Ahmad Muwafi 3/1445).


SYARAT PENERAPAN HUKUMAN ZINA.


Dalam menerapkan hukuman zina, perlu diperhatikan syarat-syarat sebagai berikut, diantaranya:

  1. Pelakunya adalah seorang Mukallaf (terbebani hukum syari'at), yaitu sudah baligh dan berakal (tidak gila).
  2. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
  3. Pelakunya mengetahui bahwa Zina itu haram, walaupun belum tahu hukumannya. (Syarhu Al-Mumti’ 14/207-210).
  4. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan.
  5. Tidak adanya Syubhat. Hukuman Zina tidak wajib dilakukan apabila masih ada Syubhat, seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau melakukan hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah atau diperkosa dan sebagainya. Ibnu Al-Mundzir rahimahullah menyatakan: “Semua para ulama yang saya hafal ilmu dari mereka telah berijma’ (bersepakat) bahwa had (hukuman) dihilangkan dengan sebab adanya Syubhat.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhiy, 530-531).
  6. Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. Pembuktian ini dengan dua perkara yang sudah disepakati para ulama yaitu:
  • Pengakuan dari pelaku Zina yang Mukallaf dengan jelas dan tidak mencabut pengakuannya sampai hukuman tersebut akan dilaksanakan.
  • Persaksian empat saksi yang melihat langsung kejadian, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

لَوْلَا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ

Artinya:
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu.” (Q.S. An-Nur:13).

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ

Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi.….” (Q.S. An-Nur:4).

Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui keabsahannya, apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Mereka bersaksi pada satu majlis
  2. Mereka bersaksi untuk satu kejadian perzinahan saja
  3. Menceritakan perzinahan itu dengan jelas dan tegas yang dapat menghilangkan kemungkinan lain atau menimbulkan penafsiran lain seperti hanya melakukan hal-hal diluar jima’.
  4. Para saksi adalah lelaki yang adil
  5. Tidak ada yang menghalangi penglihatan mereka seperti buta atau lainnya.
Apabila syarat-syarat ini tidak sempurna, maka para saksi akan mendpat hukuman sebagai penuduh Zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat Zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S. An-Nur:4).

Penetapan terjadinya perbuatan Zina dan pemutusan saksi dengan berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku yang disebutkan diatas, telah disepakati oleh para ulama. Dan para ulama masih berselisih pendapat tentang hamil diluar nikah. Bisakah hal ini dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa telah terjadi perbuatan Zina atau orang ini telah melakukan perbuatan Zina sehingga berhak mendapatkan sanksi ?

Dalam hal ini para ulama berselisih menjadi dua pendapat :
Pertama: Pendapat jumhur yaitu madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah (hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak ditegakkan atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.
Kedua: Pendapat madzhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina dapat ditegakkan dengan indikasi kehamilan.

Yang rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat madzhab Malikiyah sebagaimana dirajihkan syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau rahimahulllah menyatakan bahwa seorang wanita dihukum dengan hukuman Zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak memiliki suami, tidak memiliki tuan (jika ia seorang budak) serta tidak mengklaim adanya Syubhat dalam kehamilannya. (Majmu’ Fatawa 28/334).

Beliau rahimahullah pun menyatakan : “Inilah yang diriwayatkan dari para Khulafa’ Rasyidin dan ia lebih pas dengan pokok kaedah syari’at." (Majmu’ Fatawa 28/334).

Dalil beliau rahimahullah dan juga madzhab Malikiyah adalah pernyataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu dalam khutbahnya :

وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ الإِعْتِرَاف

Artinya:
“Sungguh Rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah atas orang yang berzina apabila telah pernah menikah (Al-Muhshaan), bila tegak padanya persaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri.” (H.R. Al-Bukhari dalam kitab Al-Hudud, Bab Al-I’tiraf biz-Zinaa 1829 dan Muslim dalam kitab Al-Hudud no. 1691). 

Jelaslah dari pernyataan Umar bin Al-Khatthab Radhiyallahu ‘anhu diatas bahwa beliau menjadikan kehamilan sebagai indikasi perzinahan dan tidak ada seorang sahabatpun waktu itu yang mengingkarinya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari riwayat Umar Radhiyallahu ‘anhu diatas dengan menyatakan: (Dalam pernyataan Umar diatas) ada pernyataan bahwa wanita apabila didapati dalam keadaan hamil tanpa suami dan juga tidak memiliki tuan, maka wajib ditegakkan padanya hukuman zina kecuali bila dipastikan adanya keterangan lain tentang kehamilannya atau akibat diperkosa. (Fathu Al-Baari 12/160).

0 comments:

Post a Comment