//]]> HUKUM DIYAT DALAM QISHASH DAN JINAYAT - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

July 18, 2018



Spirit Muslim. Diyat merupakan sebuah tebusan atau denda yang dibebankan kepada seseorang karena telah melanggar aturan syari'at. Diyat sendiri cukup banyak macamnya tergantung dari pelanggaran apa yang sudah dilakukannya. Dalam bab Qishash dan Jinayat juga dikenal dengan adanya Diyat (Denda). Dalam bab Qishash dan Jinayat, Diyat memiliki arti sebagai sebuah tebusan yang dibebankan kepada pelaku kejahatan dan penganiayaan yang telah dimaafkan oleh korban maupun keluarga korban, dengan kata lain pelaku bisa saja terlepas dari jeratan Qishash sebab dimaafkan oleh korban maupun keluarga korban akan tetapi pelaku diwajibkan membayar Diyat kepada korban atau keluarga korban sebagai pengganti Qishash. Diyat dalam bab Jinayat atau hukum Qishash tidak serta merta langsung dijatuhkan pada pelaku, akan tetapi Diyat ini menyesuaikan dengan kadar penganiayaan, jenis pembunuhannya, hingga status korban. Semua kriteria serta tata cara pembayaran Diyat Qishash telah diatur dalam syari'at dalam bab Diyat ini. Berikut Spirit Muslim akan memberikan penjelasan selengkapnya perihal Diyat dalam bab Qishash maupun Jinayat.

PENGERTIAN DIYAT

Kata diyat (دِيَةٌ) secara etimologi berasal dari kata “Wada - Yadi - Wadyan - Wadiyatan”( وَدَى يَدِى وَدْيًا وَدِيَةً). Bila yang digunakan mashdar wadyan (وَدْيًا) berarti bermakna sala (سَالَ = Mengalir) yang sering dikaitkan dengan lembah, seperti di dalam firman Allah Azza wa Jalla:


إِنِّيٓ أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ ۖ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى

Artinya:
“Sesungguhnya Aku inilah Rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa”. (Q.S. Thaha: 12).

Diyat menurut bahasa diartikan sebagai denda, tebusan atau ganti rugi. Sedangkan menurut istilah syara’ Diyat adalah pemberian sejumlah barang atau uang kepada keluarga korban untuk menghilangkan dendam, meringankan beban korban dan keluarganya sebagai ganti hukum Qishash yang telah dimaafkan oleh keluarga korban.


Diyat dapat juga diartikan sebagai harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku Jinayat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi, disebabkan Jinayat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi 2/490).

Baca juga: Penjelasan lengkap hukum qishash

DALIL PENSYARIATAN.

Hukuman Diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan beberapa dalil berikut. Diantaranya dalam firman Allah S.W.T :


....فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ....

Artinya:
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)”. (Q.S. Al-Baqarah: 178).


Juga firman Allah Azza wa Jalla :


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهٖ إِلَّآ أَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Artinya:
“Dan tidak pantas bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin yang lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. An-Nisa: 92).


Sedangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل

Artinya:
“Barangsiapa yang keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga memilih pelakunya dibunuh (Qishash)”. (H.R. Al-Jama’ah).

PENYEBAB SESEORANG TERBEBANI DIYAT.

Seseorang bisa terlepas dari hukum Qishash dan diganti dengan membayar Diyat (denda) disebabkan beberapa hal berikut:

1. Al-Ubuwwah.
Maksudnya pelaku Jinayah adalah bapak dari korban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Nabi S.A.W :


عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ يُقَادُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ

Artinya:
“Dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bapak tidak boleh diqishash pada jinayahnya terhadap anak”. (H.R.at-Tirmidzi No. 1320 , Imam Ahmad 1/98).

2. Yang bersangkutan memberikan maaf dan rela dengan diyat.
Allah S.W.T berfirman:


فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya:
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (Q.S. Al-Baqarah: 178).

3. Tidak sekufu’.
Maksud dari tidak Sekufu' adalah tidak sepadan antara Al-Jani (pelaku) dan Al-Majny ‘alaihi (korban). Yang dimaksud sekufu’ di sini menurut jumhur Ulama’ ialah dalam dua hal, yang Pertama, Huriyyah (status kemerdekaan atau budak), dan yang Kedua adalah status agama. (Al-Fiqhul-Islâmy wa Adillatuhu, DR. Wahbah az-Zuhaily, Percetakan , Dâr Fikr cet. Kedua Th.1405 H / 1985 M , 6/334).

4. Ketidaksengajaan (Al-Khata’).
Bahkan menurut Syafi`iyah dan Hanabilah pada kasus Syibhul ‘amdi (mirip disengaja) termasuk dari penghalang Qishash. (Al-Fiqhul-Islamy wa Adillatuhu, DR. Wahbah az-Zuhaily, Percetakan , Dar Fikr cet. Kedua Th.1405 H / 1985 M, 6/334).

Artinya jika pembunuhan tersebut berupa Syibhul 'Amdi/ Khata' Mahdun (mirip sengaja), maka pelaku terlepas dari hukum Qishash dan diganti dengan membayar Diyat kepada korban/ keluarga korban.

5. Tidak adanya Mumatsalah (sesuatu yang semisal/sebanding) antara pelaku dan korban. 
Dalam mumatsalah ini ada pada tiga hal, yaitu:
  1. Mumatsalah pada bagian dari anggota tubuh, kadar maupun fungsinya. Maka tidak diqishash tangan selain dengan tangan, bagian kiri dengan yang kanan, ibu jari dengan telunjuk, karena tidak ada suatu kesamaan, maka dalam hal ini pelaku terlepas dari jeratan Qishash dan digantikan dengan membayar Diyat.
  2. Mumatsalah dalam kesempurnaan dan kesehatan. Maka tidak diqishash antara mata buta dengan mata yang normal, akan tetapi cukup diwajibkan membayar Diyat.
  3. Mumatsalah dalam Fi’il Qishash yaitu memungkinkan tidak terjadi kedzaliman atau pengurangan dalam proses eksekusi Qishash. Maka tidak diqishash pada kerusakan yang terjadi pada badan karena Mumatsalah dalam masalah ini sangat sulit diterapkan. Begitu juga Jinayah yang memutus pertengahan hasta atau lengan maka Qishash hanya berlaku sampai persendian yang di bawah pertengahan hasta atau lengan tadi, dan selebihnya diukur dengan kadar Diyat, hal ini tidak lain dalam rangka memberikan hukum dengan seadil-adilnya.
Maka apabila terdapat salah satu dari Mawani’ (penghalang) Qishash yang telah tersebut di atas, seketika itu hukuman berubah menjadi diyat.

PEMBAGIAN DIYAT.

Ditinjau dari segi berat dan ringannya Diyat, Diyat terbagi menjadi 2 macam:

A. Diyat Mughalladzah.
Diyat Mughalladzah merupakan Diyat dengan kategori yang berat, yakni pelaku diwajibkan membayar Diyat sebanyak 100 ekor onta yang mana 100 ekor onta tersebut dibagi menjadi 3 bagian yakni 30 ekor berupa onta Hiqqah, 30 ekor berupa onta Jadz’ah dan 40 ekor berupa onta Khalifah (onta yang sedang hamil).

B. Diyat Mukhaffafah.
Diyat Mukhaffafah merupakan Diyat dengan kategori ringan, yakni pelaku diwajibkan membayarnya sebanyak seratus ekor onta yang dibagi menjadi lima bagian yakni 20 ekor berupa onta Hiqqah, 20 ekor berupa onta Jadz’ah, 20 ekor berupa onta Bintu Labun, 20 ekor berupa onta Ibn Labun, dan 20 ekor berupa onta Bintu Makhadhl.



Sedangkan dilihat dari sisi pelaku dan korban kejahatan, Diyat terbagi menjadi beberapa macam sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan, diantaranya:



1. Diyat laki-laki muslim merdeka.
Dalam kitab kitab Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi 2/496 para ulama sepakat bahwa seorang laki-laki merdeka diyatnya berupa membayarnya dengan onta sebanyak 100 ekor, hal ini tidak memandang jenis pembunuhannya, baik itu pembunuhan secara sengaja, tidak sengaja, atau semi sengaja diyatnya tetap 100 ekor onta, sesuai dengan hadits berikut:



أَلاَ إِنَّ قَتِيلَ الْخَطَاءِ قَتِيْلَ السَّوْطِ وَالْعَصَا فِيْهِ مِائَةٌ مِنْ اْلإِبِل

Artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100 onta”. (H.R. Ibnu Mâjah no 2618 dan dishahihkan al-Albani dalam kitab Shahihul-Jami’ no. 2638).

Meskipun terlihat sama, akan tetapi terdapat beberapa hal yang membedakannya, yakni dari pemberatan dan keringanan dalam hal pembayarannya, berikut pembagian selengkapnya:

a). Pembunuhan yang disengaja.
Jenis Diyat pembunuhan sengaja merupakan jenis Diyat yang diberatkan, artinya tidak ada keringanan sama sekali dalam hal pembayarannya. Pemberatan Diyat jenis ini dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama: Pembayarannya ditanggung sendiri oleh pelaku pembunuhan, tidak dibebankan kepada keluarga besarnya (waris Aqillah). Ini sudah menjadi ijma’ sebagaimana disampaikan Ibnu Qudamah. (Al-Mughni 12/13).
Kedua: Diwajibkan kontan dan tidak boleh diangsur karena disamakan dengan Qishash dan ganti rugi Jinayat. Inilah pendapat yang rajih menurut jumhur Ulama.
Ketiga: Diperberat dari sisi usia onta. Onta yang harus diserahkan yaitu 30 ekor onta Hiqqah, 30 onta Jaza’ah, 40 onta hamil yang mengandung janin diperutnya (Khalifah) menurut pendapat yang rajah dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُوْلِ فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْهُ وَإِنْ شَاءُا أَخَدُوْا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلاَثُوْنَ حِقَّةً وَثَلاَثُوْنَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُوْنَ خَلِفَةً وَمَا صُوْ لِحُوْا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ

Artinya:
“Siapa yang membunuh dengan sengaja maka diserahkan kepada para wali korban, apabila mereka ingin maka mereka membunuhnya dan bila ingin (lainnya) maka mengambil diyat yaitu 30 hiqqah (onta berusia 3 tahun), 30 jaza’ah (onta berusia 4 tahun) dan 40 khalifah (onta yang sedang mangandung janin). Semua yang mereka terima dengan damai maka itu hak mereka”. (H.R. Ibnu Majjah no 2626 dan dihasankan Al-Albani dalam Irwa’ 2199 dan Shahihul-Jami’ no. 6455).

b). Pembunuhan mirip sengaja.
Diyat pembunuhan semacam ini diperberat dalam satu sisi saja yaitu usia ontanya sama dengan diyat pembunuhan disengaja. Hal ini didasarkan kepada hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَنَا بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِا ئَةٌ مِنَالإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْ نِهِا أَوْلاَدُهَا

Artinya:
“Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil. (H.R. Abu Dâwud no. 4547, An-Nasa‘i 2/247 dan Ibnu Majjah no. 2627 lihat Irwa’ul-Ghalil 7/255-258 no.2197).

Namun mendapat keringanan dari dua sisi yaitu:
Pertama: Kewajiban ini dibebankan kepada waris Aqillah yakni keluarga besar pembunuh namun mengecualikan orang tua dan anak-anaknya, sebagaimana ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ 

Artinya:
“Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang, lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut”. (Muttafaq ‘alaihi).

Kedua: Diyat boleh diangsur selama tiga tahun menurut ijma’ sebagaimana dikatakan Ibnu Qudamah rahimahullah, “Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu dan Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa keduanya menetapkan diyat kepada Al-Aqilah (keluarga pembunuh) selama tiga tahun dan tidak ada yang menyelisihi keduanya di zaman mereka sehingga itu menjadi ijma’. (Al-Mughni 12/17).

c). Pembunuhan tidak sengaja
Jenis diyat pada pembunuhan ini memiliki 3 sisi keringanan
Pertama: Dalam kitab Al-Mulakhash Al-Fiqhi 2/462 Kewajiban ini dibebankan kepada al-Aqilah menurut ijma’ umat ini. Sedangkan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni 12/21 menyatakan, “Kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara para Ulama bahwa Diyat pembunuhan tidak sengaja diambil dari Al-‘Aqillah (keluarga).
Kedua: Dibayar dalam tiga tahun sebagaimana Diyat pembunuhan mirip sengaja. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan: “Tidak ada khilaf di antara mereka bahwa diyatnya tidak kontan (dibayar) tiga tahun”. (Al-Mughni 12/21).
Ketiga: Mendapatkan keringan dari sisi usia ontanya menjadi lima jenis, yaitu 20 Bintu Makhadh (onta betina berusia setahun), 20 Ibnu Makhadh (onta jantan berumur setahun) , 20 onta Bintu Labun (onta betina usia dua tahun), 20 onta Hiqqah dan 20 onta Jadza’ah. (Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/497).

Dalam kitab Fathul Qarib dalam bab Diyat disebutkan bahwa meskipun dalam pembunuhan tidak sengaja ini termasuk kategori Diyat Mukhaffafah akan tetapi bisa saja menjadi Diyat Mughalladzah disebabkan beberapa hal berikut:
  • membunuh di tanah Haram, maksudnya tanah Haram Makkah. Adapun pembunuhan yang dilakukan di tanah Haram Madinah, atau membunuh saat melaksanakan ihram, maka tidak sampai memberatkan diyat menurut pendapat Al Ashah.
  • membunuh di bulan-bulan Haram, maksudnya bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab.
  • Membunuh kerabat sendiri yang masih memiliki ikatan mahram. Sehingga, jika kerabat yang terbunuh tersebut bukan mahramnya, maka tidak sampai memberatkan Diyat.
2. Diyatnya Wanita dan Khuntsa
Khunsa dalam istilah syari'ah adalah orang yang punya dua alat kelamin, wanita dan pria atau orang yang tidak punya alat kelamin sama sekali namun punya lubang untuk kencing. Dengan kata lain, khuntsa bukanlah banci, karena banci dalam Islam dikenal sebagai Mukhannas, yakni laki-laki yang bersikap menyerupai perempuan dalam perilaku, ucapan, dll. Dalam istilah medis disebut Waria (Male to Female atau Transwoman) atau Prita (Female to Male atau Transman). Dalam Islam Khuntsa ada dua yaitu:

a.Khunsa musykil.
yaitu orang yang punya alat kelamin ganda dan tidak jelas tanda laki-laki atau perempuan, juga tidak diketahui apakah dia lelaki atau wanita, atau tandanya berlawanan. Dalam istilah keilmuan disebut hormon ganda/sindrom mullerian (Mullerian Syndrome)

b. Khuntsa ghairu musykil.
adalah orang punya kelamin ganda tapi jelas tanda laki-laki atau perempuan. Ia disebut laki-laki yang punya kelamin vagina tambahan; atau perempuan yang punya penis tambahan. Adapun hukumnya secara syariah dalam segi warisan adalah berdasarkan pada tanda yang dominan. Dalam istilah medis disebut Guevedoces.

Diyat melukai wanita dan Khuntsa Musykil adalah separuh dari Diyat melukai laki-laki, baik membunuh atau melukai saja. Sehingga, di dalam diyatnya wanita merdeka yang muslim dalam permasalahan membunuh secara sengaja atau serupa dengan sengaja adalah lima puluh ekor onta yang dibagi menjadi tiga, 15 onta Hiqqah, 15 onta Jadz’ah dan 20 onta Khalifah yang sedang mengandung.

Dan di dalam membunuh Khatha’ (tidak sengaja) wajib membayar 10 ekor onta Bintu Makhadl, 10 ekor onta Bintu Labun, 10 ekor Ibn Labun, 10 ekor onta Hiqqah dan sepuluh ekor onta Jadz’ah.

3. Diyat orang kafir ahli kitab yang merdeka.
Diyat lelaki ahli kitab yang merdeka baik sebagai seorang Mu’ahhad, Musta’man atau Dzimmi adalah separuh Diyat Muslim berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنَّ رَسُوْ لَ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ عَقْلَ أَهْلِ الْكِتَابِ نِصْفُ غَقْلِ الْمُسْلِمِيْنَ

Artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa diyat ahli kitab separuh diyat Muslimin”. (H.R. Ahmad 6795 dan dihasankan al-Albâni dalam kitab Al-Irwa’ no 2251).

4. Diyat orang kafir non ahli kitab.
Mereka ini seperti Majusi, baik ahli Dzimmah atau Musta’man atau Mu’ahad dan orang kafir Musyrik namun Mu’ahhad atau Musta’man, maka diyatnya adalah 800 dirham islami sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu :

وَدِيَةُ الْمَجُوسِيِّ ثَمَانُ مِائَةِ دِرْهَمٍ

Artinya:
“Diyat Al-Majusi 800 dirham”. (H.R. At-Tirmidzi no. 1417).

5. Diyat Wanita Muslimah.
Diyat wanita Muslimah separuh diyat lelaki Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada ‘Amru bin Hazm yang di antara isinya adalah:

دِيَةُ الْمَرْأَةِ عَلَى النِّصفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ

Artinya:
“Diyat wanita itu separuh dari diyat lelaki”. (H.R. Al-Baihaqi dalam Sunanul-Kubra no. 16344 dan didhaifkan Al-Albani dalam Irwa‘ul-Ghalil no. 2250).

Hal ini telah menjadi ijma’ sebagaimana disampaikan Ibnul Mundzir rahimahullah : “Para Ulama berijma` bahwa diyat wanita separuh diyat lelaki”. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi 2/497-498).

Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini dengan menyatakan: “Karena wanita lebih lemah dibandingkan laki-laki dan laki-laki lebih memiliki potensi darinya, lelaki bisa menduduki sesuatu yang tidak dapat diduduki oleh wanita berupa jabatan keagamaan, perwalian, menjaga perbatasan, jihad, membangun negeri, mengerjakan industri yang menjadi kesempurnaan maslahat dunia dan membela dunia dan agama. Maka nilai Diyat keduanya tidak sama dalam Diyat, karena Diyat diberlakukan sebagaimana nilai harga budak dan selainnya berupa harta benda. Sehingga hikmah pembuat syari’at menuntut adanya penentuan separuh nilai Diyat lelaki, karena perbedaan yang ada pada keduanya. (I’lamul-Muwaqqi’in 2/149 dan Zadul-Ma’ad 3/175. Pernyataan ini dinukil dari Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/498).

6. Diyat Wanita Ahli Kitab.
Diyat wanita ahli kitab dan Majusi serta kaum musyrikin adalah separuh dari diyat laki-laki merdeka, sebagaimana diyat wanita Muslimah adalah separuh dari laki-laki Muslim. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi 2/498).

7.Diyat Budak
Diyat budak, baik lelaki atau perempuan, kecil atau dewasa adalah sesuai harga budak itu sendiri selama harganya tidak mencapai nilai diyat lelaki merdeka. Ini sudah menjadi ijma’ di kalangan kaum Muslimin karena budak adalah harta yang bernilai jual sehingga diganti seharga nilai budak tersebut.

Seandainya penis dan kedua biji dzakar seorang hamba dipotong, maka wajib mengganti dua harga menurut pendapat al adhhar.

8. Diyat Janin.
Janin merdeka yang berstatus islam karena mengikut pada salah satu kedua orang tuanya yang mana ibunya terjaga saat terjadinya kasus, maka diyatnya adalah Ghurrah, yakni satu orang budak, laki-laki atau perempuan, yang bebas dari cacat yang parah. Budak tersebut disyaratkan harus mencapai separuh sepersepuluhnya diyat secara utuh dan yang membayarnya adalah waris Aqillah (kerabat pelaku).

Kemudian, jika tidak ada budak, maka wajib membayar gantinya yaitu lima ekor onta. Nilai Ghurrah ini adalah 5 ekor onta berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :

اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ 

Artinya:
“Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang, lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut”. (H.R. Muttafaq ‘alaihi).

Sedangkan Diyat janin yang berstatus budak adalah sepersepuluh dari harga ibunya di hari saat sang ibu dilukai. Sesuatu yang wajib dibayarkan menjadi milik majikan si ibu.

Di dalam kasus janin yang berstatus yahudi atau nasrani, wajib membayar Ghurrah dengan ukuran sepertiga dari Ghurrah-nya janin muslim, yaitu satu lebih dua pertiga ekor onta.

9. Diyyat membunuh Orang Kafir.
Diyatnya orang Yahudi, Nasrani, kafir Musta’man, dan kafir Mu’ahad adalah sepertiga diyatnya orang islam, baik membunuh atau melukai saja. Adapun orang Majusi, maka diyatnya adalah dua sepertiga sepersepuluhnya diyat orang muslim. Ungkapan yang lebih ringkas daripada ini adalah sepertiga seperlima diyatnya orang muslim.

10. Diyat Melukai.
Dalam kitab Al-Mughni karangan Al-Muwaffaq Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisy Al-Jama’ily, Diyat melukai atau diyat non kematian terbagi kedalam 4 kategori, diantaranya:
• Diyat pada Jinayah yang berakibat hilangnya salah satu anggota badan
• Diyat pada Jinayah yang menimbulkan hilangnya suatu manfaat dari anggota badan.
• Diyat pada Jinayah yang berupa luka di kepala, wajah atau badan
• Diyat pada Jinayah yang mengakibatkan patah tulang.

A. Diyat pada Jinayah yang berakibat hilangnya salah satu anggota badan.
Dalam tubuh manusia terdapat 45 anggota badan, Dari anggota itu ada yang berjumlah satu, dan ada juga yang berjumlah sepasang atau berjumlah lebih dari itu. Maka, setiap jenis anggota tersebut memiliki diyat yang berbeda-beda. Diyat ini tidak melihat kondisi anggota tubuh korban, baik cacat atau sudah tidak berfungsi seperti gagap, mata berair, tuli, maka diyat tetap berlangsung. Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa pembagiannya sebagai berikut:

1. Bagian tubuh yang berjumlah tunggal.
Seperti: lidah, hidung, dzakar atau kulup, Shulb/tulang belakang (syaraf reproduksi), saluran kemih, rambut kepala, jenggot bila tidak tumbuh lagi. Maka diyatnya utuh 100 ekor onta yaitu seperti diyat Nafs (jiwa). Wajib membayar Diyat secara utuh di dalam kasus hidung, maksudnya memotong bagian hidung yang lentur, yaitu janur hidung. Hidung terdiri dari tiga bagian, yaitu dua rongga dan satu pembatas rongga hidung. Apabila kerusakan terjadi pada salah satu bagian tersebut, maka diyatnya sepertiga, misal memotong satu dari kedua bagian tepi janur hidung dan pembatas dua lubangnya, wajib membayar sepertiga Diyat.

2. Anggota badan yang berpasangan (berjumlah dua)
Seperti: mata, telinga, tangan, bibir, tulang geraham, kaki, puting susu, pantat, biji dzakar, maka pada diyatnya utuh, dan pada salah satunya diyatnya setengah. Artinya jika seseorang memotong salah satu dari anggota tersebut maka ia terbebani separuh dari diyat yakni 50 ekor unta. Kedua hal di atas berasal dari Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ لَهُ ، وَكَانَ فِي كِتَابِهِ : وَفِي اْلأَنْفِ إذَا أُوْعِبَ جَدْعُهُ الدِّيَةُ ، وَفِي اللِّسَانِ الدِّيَةُ ، وَفِي الشَّفَتَيْنِ الدِّيَةُ ، وَفِي الْبَيْضَتَيْنِ الدِّيَةُ ، وَفِي الذَّكَرِ الدِّيَةُ ، وَفِي الصُّلْبِ الدِّيَةُ ، وَفِي الْعَيْنَيْنِ الدِّيَةُ ، وَفِي الرِّجْلِ الْوَاحِدَةِ نِصْفُ الدِّيَةِ 

Artinya:
“Dari `Amru bin Hazm bahwa Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis untuknya, dalam ditulisan itu, “Pada hidung yang terpotong diyatnya utuh, pada lidah diyatnya utuh, pada kedua bibir diyatnya utuh, pada dua buah biji dzakar diyatnya utuh, pada batang kemaluan diyatnya utuh, pada shulb (tulang syaraf reproduksi) diyatnya utuh, pada kedua mata diyatnya utuh, dan pada satu kaki diyatnya setengah”. (H.R. An-Nasa`i , Kitab Al-Qasamah Hadits No.4853 , Imam Malik dalam Al-Muwatta’ Kitab Uqul, 2/869).

3. Anggota badan yang berjumlah empat.
Seperti; kelopak mata, atau bulu mata bila membuatnya tidak tumbuh lagi, maka pada setiap bagian tersebut diyatnya seperempat, dan bila terpotong semua, maka membayar diyatnya utuh.

4. Jenis anggota badan yang berjumlah sepuluh.
Seperti jari tangan, jari kaki. Jika terpotong seluruhnya, maka diyatnya utuh dan pada salah satunya diyatnya sepersepuluh. Yakni satu jari 10 onta dan pada setiap ruas tulang dari satu jari sepertiga dari 10 onta, kecuali pada ibu jari, maka diyat peruas tulangnya adalah 5 onta. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دِيَةِ اْلأَصَابِعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ سَوَاءٌ عَشْرٌ مِنْ اْلإِِبِلِ لِكُلِّ أُصْبُعٍ

Artinya:
"Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah bersabda tentang diyat jari tangan dan kaki, ‘semua sama, setiap satu jari 10 ekor onta". (H.R. At-Tirmidzi dalam kitab Diyyat No. 1391).

Tidak ada perbedaan antara ibu jari dan kelingking dalam diyat. Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَذِهِ وَهَذِهِ سَوَاءٌ – يَعْنِي الْخِنْصَرَ وَاْلإِبْهَامَ

Artinya:
“Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ini dan ini sama (diyatnya), yaitu kelingking dan jempol”. (H.R. al-Bukhari dalam kitab diyat Hadits No. 6500).

5. Diyat Pada gigi, untuk setiap gigi diyatnya 5 ekor onta, dalilnya adalah hadits `Amru bin Hazm,

وَفِيْ السِّنِّ خَمْسٌ مِنَ اْلإِبِلِ 

Artinya:
“Dan pada setiap gigi diyatnya 5 ekor onta”. (H.R. An-Nasa’i kitab Qasamah No. 4853).

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mendapatkan perbedaan pendapat dalam masalah gigi bahwa diyat setiap gigi adalah 5 onta”. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, hlm. 130).

B. Diyat pada Jinayah (penganiayaan) yang menimbulkan hilangnya suatu manfaat dari anggota badan.
Manfaat yang dimaksud di sini ialah manfaat atau fungsi anggota badan seperti panca indra pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perasa. Jika salah satu dari panca indra ini hilang, maka wajib atasnya membayar diyat secara utuh. Hal yang serupa juga berlaku pada hilangnya manfaat dari anggota tubuh yang berjumlah tunggal seperti akal, kemampuan bicara, kemampuan sex, kemampuan berjalan, dll. Hal ini sebagaimana keputusan `Umar bin Khatthab ketika beliau mengadili seseorang yang telah memukul kawannya dan mengakibatkan hilangnya penglihatan, pendengaran, kemampuan sex, dan akal darinya dan ia masih hidup. Oleh Umar Radhiyallahu anhu orang itu di beri sangsi empat kali diyat (400 ekor onta). (Ar-Raudul Murbi’ Syarh Zadul Mustaqni’ Bihasyiyah Ibnu Utsaimin, Mansur bin Yunus Al-Bahuty , Ibnu Utsaimin, hlm.653).

Kaidah dalam masalah ini, setiap anggota tubuh yang berjumlah tunggal maka diyatnya penuh (100 ekor onta) dan untuk anggota badan yang berjumlah dua atau empat atau sepuluh, bila terjadi kerusakan fungsi tanpa kehilangan bentuk anggota badan seperti lumpuh dan sebagainya, maka diyatnya sebesar prosentase hilangnya manfaat anggota tubuh tersebut dari diyat, karena darah Majny ‘alaihi tidak boleh disia-siakan tanpa ganti rugi. (At-Ta’liqat Radliyyah ‘Ala Ar-Raudlatunnadiyyah, Lil Allamah Sidiq Hasan Khan at-Tanuhy, Nashiruddin Al-Albani, percetakan Dar Ibnu ‘Affan, Riyadhl, cet.Pertama th.1423M/2003H. 3/383).

Dalam kitab Fathul Qarib pada bab Diyat disebutkan juga perihal diyat terhadap anggota badan yang tidak memiliki manfaat, yakni wajib membayar hukumah di dalam kasus menghilangkan setiap anggota yang tidak memiliki manfaat.

Hukumah adalah bagian dari diyat, yang mana nisbat bagian tersebut pada diyatnya nyawa adalah nisbat kurangnya harga korban yang dilukai seandainya ia adalah seorang budak dengan sifat-sifat yang ia miliki.

Sehingga, seandainya harga korban sebelum dilukai tangannya semisal sepuluh, dan setelah dilukai menjadi sembilan, maka kurangnya adalah sepersepuluh, sehingga wajib membayar sepersepuluh dari diyatnya nyawa secara utuh.

C. Diyat pada Jinayah yang berupa luka di kepala, wajah atau badan.
Luka di kepala dan wajah dalam Bahasa Arab dinamakan Syajjah, dan luka pada selainnya dinamakan Jarh. Jinayah pada kepala atau wajah (Syajjah) ini memiliki sepuluh tingkatan yang diambilkan dari Bahasa Arab. Setiap jenisnya memiliki nama dan hukum tersendiri pula. (Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/505). Adapun sepuluh macam tersebut yaitu:

1. Al-Harishah
yaitu robeknya kulit ari dan tidak mengakibatkan keluar darah.

2. Al-Bazilah/ Ad-Dami’ah
yaitu luka yang merobek kulit dan mengeluarkan darah sedikit.

3. Al-Badli’ah
yaitu luka yang merobek kulit hingga daging bagian atas.

4. Al-Mutalahimah
yaitu luka yang merobek hingga daging bagian dalam

5. As-Simhaq
yaitu luka yang merobek hingga daging bagian bawah dekat dengan tulang, akan tetapi masih terhalang satu lapisan yang menutupi tulang. (tulang yang putih belum terlihat).

Lima keadaan ini tidak ada ketentuan diyatnya, akan tetapi hukumnya diserahkan kepada hakim untuk menentukan kadar ganti rugi jinâyah tersebut.

6. Al-Mudlihah
ialah luka yang menembus kulit dan daging hingga mengakibatkan tulang dapat terlihat jelas. Pada luka ini diyatnya 5 ekor onta. Hal ini disebutkan dalam hadis `Amru bin Hazm:

وَفِيْ الْمُوْضِحَةِ خَمْسٌ مِنَ اْلإِبِلِ 

Artinya:
“Dan pada luka mudlihah diyatnya 5 ekor onta”. (H.R. An-Nasa`i, kitab Al-Qasamah Hadits No. 4853).

7. Al-Hasyimah
yaitu luka yang membuat tulang terlihat dan meretakkannya. Diyatnya adalah 10 ekor onta. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu dan tidak ada seorang Sahabat pun yang menyelisihi pendapat beliau dalam masalah ini.

8. Al-Munaqqilah
yaitu luka yang lebih parah dari al-Hasyimah, yang menyebabkan tulang pindah dari tempatnya. Maka diyatnya 15 ekor onta. Hal ini berdasarkan hadist `Amru bin Hazm Radhiyallahu anhu. Rasullullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَفِيْ الْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنَ اْلإِبِلِ

Artinya:
“Dan pada luka Al-Munaqqilah diyatnya 15 ekor onta”. (H.R. an Nasa`i , kitab Al-Qasamah Hadits No. 4853).

9. Al-Ma’mumah
adalah luka yang sampai pada lapisan pelindung otak kepala.

10. Ad-Damighah
yaitu luka yang merobek lapisan pelindung otak. Hukuman diyat untuk kedua jenis luka ini adalah sepertiga dari diyat utuh. Hal itu bersumber dari hadis yang sama dari riwayat `Amru bin Hazm Radhiyallahu anhu :

وَفِيْ الْمَأْمُوْمَةِ ثُلُثُ الدِّيَّةِ

Artinya:
Pada luka Al-Ma’mûmah diyatnya sepertiga”. (H.R. an Nasâ`i , kitab Al-Qasâmah Hadits No. 4853).

Adapun pada luka Damighah, tentu lebih parah dari Ma’mumah, maka ia lebih berhak untuk mendapat sepertiga diyat, akan tetapi karena biasanya korban yang terkena luka ini sering tidak tertolong jiwanya, maka tidak ada nash yang jelas yang menyebutkan jumlah diyatnya. Para Ulama’ menetapkan bahwa diyat Damighah adalah sepertiga apabila tidak terjadi kematian.

Kemudian untuk luka yang bukan pada wajah Atau kepala yang disebut Jarh, maka ada satu jenis yang memiliki diyat yang datang dari nash, yaitu luka Al-Jaifah.

Adapun arti dari jaifah ialah luka yang dalam pada tubuh selain dari tangan, kaki maupun kepala, yang mana luka tersebut masuk sampai ke dalam tubuh dari arah dada atau perut, lambung kanan maupun kiri, punggung, pinggang, dubur, tenggorokan dan lainnya. (Al-Mulakhas al-Fiqhy, 2/507, Ar-Raudul Murbi’, hlm.656).

Luka Al-Jaifah diyatnya adalah sepertiga dari diyat utuh. Dasar hukum ini masih diambil dari hadits `Amru bin Hazm Radhiyallahu anhu

وَفِيْ الْجَائِفَةِ ثَلُثُ الدِّيَةِ 

Artinya:
“Dan pada luka Jaifah diyatnya sepertiga”. (H.R. An-Nasa`i, kitab Al-Qasamah Hadits No. 4853).

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Dan ini (diyat Jaifah) merupakan perkataan kebanyakan ahli ilmu, di antaranya Ulama Madinah, Ulama Kufah, Ulama Hadits dan ashabu ra’yi (Al-Mughni, 12/166).

Apabila badan tersebut terkena senjata kemudian tembus sampai pada sisi lainnya maka diyatnya dua jaifah karena lukanya ada pada dua sisi .

D. Diyat pada jinayah yang mengakibatkan patah tulang
Pada kasus patah tulang ini, menurut Ibnu Qudâmah rahimahullah ada 5 jenis tulang yang ada kadar diyatnya yaitu tulang rusuk, dua tulang iga, dan zand (lengan dan hasta). (Al-Mughni 166).

Kadar diyat pada 5 tulang tersebut yaitu:
  1. Diyat pada tulang rusuk yang patah, apabila bisa kembali tersambung dengan normal maka diyatnya seekor onta, begitu pula pada tulang iga. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Pada tulang rusuk diyatnya satu ekor onta (Ibnu Abi Syaibah, kitab diyat, 5/380 no. 27162, `Abdurrazaq , Kitâbul Uqul 9/ 367 no.17607) dan pada satu tulang iga seekor onta.(Ibnu Abi Syaibah, kitab diyat, 5/365 no. 27162, `Abdurrazâq , Kitâbul Uqûl 9/ 362 no.17578), Akan tetapi bila tulang tersebut tidak kembali seperti keadaan semula, maka ia dikenakan denda hukumah.
  2. Diyat Zand adalah dua ekor onta, yang mana pada tulang hasta seekor onta dan pada tulang lengan sekor onta.  Hal ini berdasarkan atsar dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu bahwa ketika beliau ditanya melalui surat oleh `Amru bin Al-‘Ash tentang diyat Zand (hasta dan lengan). Beliau menulis jawaban bahwa diyatnya (lengan dan hasta) adalah dua ekor onta dan pada dua zand 4 ekor onta.
PROSES PENGAMBILAN DIYAT

Wajib bagi pelaku kejahatan atau keluarga pelaku (Waris Aqillah) untuk membayar sejumlah onta sesuai dengan ketentuan, jika ia tidak memiliki onta, maka diambilkan dari onta yang paling banyak di kota orang yang hidup di perkotaan, atau pedukuan orang yang hidup di pedesaan.

Jika di kota atau desa tersebut tidak ada onta, maka diambilkan dari onta yang paling banyak di kota atau desa yang paling dekat dengan tempat orang yang wajib membayar diyat.

Kemudian, ketika tidak ada onta, maka ia beralih mengeluarkan uang seharga onta tersebut.

Sesuai dengan Qaul Jadid dan Qaul Shahih disebutkan, “jika onta tidak ditemukan, maka beralih mengeluarkan uang seharga onta tersebut.”

Ada satu pendapat di dalam qaul qadim yang mengatakan, “beralih mengeluarkan seribu dinar, bagi orang yang memiliki emas, atau beralih membayar dua belas ribu dirham, bagi orang yang memiliki perak.

Ketentuan tersebut berlaku semua jenis Diyat, baik Diyat Mughalladzah maupun Diyat Mukhaffafah.

Sedangkan pendapat qaul qadim disebutkan, jika diyat tersebut diberatkan/ mughaladhdhah, maka ditambah sepertiga dari jumlah semuanya. Sehingga, dalam permasalahan dinar, harus membayar seribu tiga ratus tiga puluh tiga lebih sepertiga dinar, dan didalam permasalahan perak, harus membayar enam belas ribu dirham.

0 comments:

Post a Comment