//]]> BERBAGAI MACAM JENIS BARANG RIBAWI: PATUT DIWASPADAI - SPIRIT MUSLIM (SPIRUM)

September 28, 2017



Spirit Muslim. Seperti yang kita pahami, bahwa Islam melarang keras adanya praktek riba dalam bentuk apapun. Ini bukan tanpa sebab, melainkan karena Riba dapat merugikan banyak pihak yang terlibat didalamnya. Saat mempelajari mengenai Riba, tentu tidak akan lepas dengan berbagai jenis barang yang tergolong dalam kategori barang ribawi. Pada dasarnya macam-macam jenis barang Ribawi ini terbagi menjadi 6 golongan, namun sebagian ulama masih berselisih pendapat mengenai hal ini.

Barang ribawi sendiri merupakan barang-barang yang mana jika diperjual-belikan tidak sesuai dengan kaidah jual beli yang ditetapkan syaria’t maka transaksi tersebut menjadi transaksi Riba. Inilah yang patut kita waspadai saat kita hendak melakukan transaksi yang berhubungan dengan barang Ribawi.


KATEGORI BARANG RIBAWI

Rasulullah S.A.W. bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

Artinya:
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat Riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa". (H.R. Muslim no. 1584)

Baca juga: Pengertian riba, hukum riba, dan macam-macam riba yang dapat membuat petaka bagi para pelakunya

Dari hadits di atas nabi S.A.W mengkategorikan barang Ribawi menjadi menjadi beberapa bagian, antara lain:
  1. Emas,
  2. Perak,
  3. Gandum,
  4. Jewawut (salah satu bahan makanan pokok sejenis sereal)
  5. Kurma, dan
  6. Garam.
Dari 6 jenis barang Ribawi tersebut, para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut, antara lain:

Pendapat pertama: Kaum Zhahiriyah. Dari kategori diatas, mereka berpendapat bahwasanya barang Ribawiyah itu hanya berupa barang-barang yang telah disebutkan oleh Nabi saja. Selain dari itu maka barang-barang yang lain tidak termasuk kategori barang Ribawiyah. Ini adalah pendapat Ibnu Uqail dari madzhab Hambali.

Pendapat kedua: Menurut ulama ahli fiqh. Mereka berpendapat bahwasanya barang-barang Ribawiyah itu tidak hanya terbatas pada barang-barang yang disebutkan oleh Nabi saja, namun juga mencakup pada semua barang yang memiliki kesamaan sifat dengan barang-barang Ribawiyah yang disebutkan Nabi. Misal antara beras dan gandum memiliki kesamaan dalam hal berupa makanan pokok.

Kedua pendapat tersebut didasari oleh beberapa 'illat (alasan/sebab) yang melatar belakanginya, antara lain:

1. 'illat pertama.
Menyebutkan bahwa emas dan perak ukurannya menggunakan timbangan. Dan 4 barang Ribawi lainnya (selain emas dan perak) ukurannya berupa takaran. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad.

Atas dasar pendapat inilah maka hukum transaksi Riba berlaku pada setiap barang-barang yang dapat ditimbang (baik itu makanan atau selainnya), misalnya saja emas, perak, besi, tembaga, sutera, wol, dan kapas. Juga berlaku bagi setiap barang-barang yang dapat ditakar (baik itu makanan atau selainnya) semisal gandum, kurma, beras, minyak, susu, dll.

والحاصل أن ما اجتمع فيه الكيل والوزن والطعم من جنس واحد ففيه الربا رواية واحدة كالأرز والدخن والذرة والقطنيات والدهن والخل واللبن واللحم ونحوه وهذا قول أكثر أهل العلم قال ابن المنذر : هذا قول علماء الأمصار في القديم والحديث

Artinya:
“Kesimpulannya, sesungguhnya sesuatu yang terkumpul di dalamnya (sifat) bisa ditakar, bisa ditimbang, dan berupa makanan, dari jenis yang satu, maka bisa terjadi riba. Ini perkara yang disepakati. Seperti beras, jewawut, biji kacang, minyak, cuka, daging, dan yang semisal dengannya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama’. Ibnul Mundzir berkata: ini pendapat ulama’ seluruh negeri dahulu dan sekarang". (Al-Mughni: 4/135 ).

Dengan adanya 'illat ini, maka hukum Riba berlaku untuk setiap barang yang dapat ditimbang dan ditakar, baik itu berupa makanan atau selainnya.

2. 'illat kedua.
Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa 'illat (alasan) dari emas dan perak merupakan barang Ribawi adalah karena keduanya merupakan standar harga untuk barang yang lain (alat tukar/pembayaran), oleh karena itu Imam Syafi'i mengkategorikan barang Ribawi hanya sebatas emas dan perak, adapun barang tambang lain tidak termasuk didalamnya karena tidak bisa dijadikan sebagai alat tukar/pembayaran.

Adapun empat jenis barang Ribawi lainnya, 'illat–nya berupa jenis makanan. Dengan kata lain semua jenis bahan makanan termasuk dalam kategori barang Ribawi, tanpa melihat bahan makanan tersebut bisa ditimbang atau ditakar.

Jadi kesimpulan untuk 'illat kedua ini adalah:
  • Emas dan perak merupakan barang Ribawi. Adapun timah, besi, tembaga dan yang serupanya, tidak berlaku hukum Ribawi.
  • Jenis makanan. Setiap makanan termasuk barang Ribawi, tidak terkait dengan kondisinya yang biasa ditimbang atau ditakar.

3. 'illat ketiga.
Imam Malik menyebutkan bahwa 'illat dari emas dan perak adalah alat tukar. Sedangkan empat barang lainnya 'illatnya berupa makanan pokok dan makanan simpanan. Seperti gandum, maka ia adalah makanan pokok dan biasa disimpan dalam waktu lama. Maka atas dasar ini emas dan perak serta semua bahan makanan pokok yang sejenis masuk dalam kategori barang Ribawi.

4. 'illat keempat.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memiliki pandangan yang lain, bahwa 'illat dari emas dan perak adalah alat tukar yakni setiap barang yang bisa digunakaan untuk pembayaran bagi barang selainnya, artinya tidak hanya sebatas emas dan perak, namun semua barang yang dapat digunakan sebagai alat tukar. Misalnya saja uang, membeli sesuatu dengan uang. Berbicara fungsi uang yang mirip dengan emas dan perak, terdapat beberapa ketentuan khusus yang terdapat dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,13/442 no. 3291, yakni:
  • Tidak diperbolehkan menukarkan uang kertas yang sama. Misal: menukar rupiah dan rupiah, atau menukarkan uang kertas dengan yang beda jenis seperti menukar dolar dan rupiah dengan cara tempo (kredit).
  • Tidak dibolehkkan juga untuk menukarkan uang yang sama dengan cara melebihkan sebagian dari yang lain, seperti menukarkan seratus ribu rupiah dengan seratus sepuluh ribu rupiah.
  • Boleh menukarkan uang kertas yang berbeda jenis -misal dolar dan rupiah- dengan melebihkan salah satunya, asalkan dilakukan secara kontan (tunai).
Adapun empat barang lainnya 'illatnya adalah makanan yang bisa ditakar atau ditimbang. Maka dengan alasan ini semua barang yang digunakan untuk pembayaran dan makanan yang dapat ditimbang atau ditakar maka masuk dalam kategori barang Ribawi. 

KETENTUAN JUAL BELI BARANG RIBAWI

Memang, memperjualbelikan barang Ribawi sah-sah saja, selama dalam memperjualbelikannya sesuai dengan hukum riba, yakni mengikuti semua ketentuan yang berlaku dalam jual beli barang yang tergolong barang Ribawi. Dalam jual beli barang Ribawi,  ada 2 syarat utama dalam menjalankannya, antara lain:

Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarter harus dilakukan pada saat terjadi akad dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, meskipun hanya sejenak. 

Misalnya saja kurma dengan kualitas bagus sebanyak 2 kg dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat pertama ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal menunda satu jam atau satu hari yang dapat menyebabkan kadar kurma berkurang) ketika akad barter. Contoh pembahasan ini akan masuk Riba jenis kedua yaitu Riba nasi’ah (Riba karena adanya penundaan).

Persyaratan kedua, Jumlah dan takaran barang yang ditukarkan haruslah sama walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Rizki ingin menukar emas 21 karat miliknya sebanyak 5 gram emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah Riba fadhl.


الحديث الرابع: حديث عبد الرحمن بن أبي بكر عن أبيه قال: (نهى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- عن الفضة بالفضة والذهب بالذهب إلا سواءً بسواءٍ) والحديث متفق عليه.

Artinya:
"Hadis keempat : Hadis dari Abdurahman Ibn Abi Bakr ra. dari ayahnya, ia berkata : Rasul SAW melarang (jual-beli) perak dengan perak, emas dengan emas kecuali harus sama". (H.R. Muttafaq Ilaih).

Pada dasarnya aturan menjual barang Ribawi jika sejenis (emas dengan emas, gandum dengan gandum, dst) adalah harus sama timbangannya dan transaksinya dilakukan secara kontan.  Jika jenis yang ditukarkan berbeda dan tidak sama jumlahnya maka akad tetap harus dilakukan secara kontan.

Intinya, syarat inti dan syarat utama dalam memperjualbelikan barang Ribawi adalah harus dilakukan secara kontan.

Jika yang dijual berbeda jenisnya, boleh ada tambahan, serta dibolehkan adanya kelebihan (At-Tafadhul), namun tetap disyaratkan harus ada serah terima secara kontan (At-Taqabudh).


الحديث الثاني: حديث أبي سعيد الخدري -رضي الله تعالى عنه- وهو حديث متفق عليه، يقول – صلى الله عليه وسلم-: )لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلاً بمثلٍ ولا تُشِفُّوا بعضها على بعض) يعني لا تزيدوا (ولا تبيعوا الوَرِق) الذي هو الفضة (بالورق، إلا مثلاً بمثلٍ، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائباً بناجز) يعني لابد من التقابض، وفي لفظ مسلم بعد أن ذكر الأصناف الربوية: (مثلاً بمثلٍ يداً بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي سواء) يعني من زاد في قضية التبادل، تبادل الجنس بجنسه، أو استزاد طلب الزيادة فقد وقع في الربا (الآخذ والمعطي سواء(

Artinya:
"Hadis kedua : Hadis Abi Sa’id Al-Khudri r.a. Dan hadis ini telah disepakati keshahihannya, Nabi SAW bersabda: (“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali semisal/sama, dan jangan kalian melebihkan sebagian atas sebagian yang lain”), artinya jangan kalian menambahkan .. (“ dan janganlah kalian menjual dirham (al-wariq)”), yaitu perak (al-fidhah), (“dengan dirham kecuali sama/semisal, dan janganlah kalian melebihkan sebagian atas sebagian lainnya, dan janganlah kalian menjual sesuatu yang tidak ada (ghaib) dengan sesuatu yang ada ditempat (an-najiz)”), artinya harus ada serah-terima (at-taqabudh). Dan dalam lafadz hadits yang diriwayatkan Imam Muslim setelah menjelaskan barang-barang ribawi : (“semisal/sama serta tunai, barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah melakukan riba, baik yang mengambil dan memberi adalah sama saja”), artinya barangsiapa menambah dalam konteks tukar – menukar (at-tabadul), tukar – menukar dengan jenisnya, atau meminta tambahan maka telah melakukan riba, (“yang mengambil dan menerima adalah sama”)".

Inti dari hadits tersebut adalah bila barang yang ditukarkan berbeda jenisnya, maka diperbolehkan jual beli sesukanya, artinya tidak disyaratkan harus sama, namun yang harus diperhatikan bahwa syarat dari jual beli tersebut haruslah dilakukan serah terima secara kontan. Nabi SAW bersabda,


الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Artinya:
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587)

Dalil-dalil diatas jelas menunjukkan bahwa syarat utama menjualbelikan emas, perak, dan barang Ribawi lainnya haruslah dilakukan secara kontan. Para ahli fiqih lazim menyebutnya dengan istilah “Taqabudh” (serah terima dalam majelis akad), istilah ini berdasarkan bunyi nash “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan). Dengan demikian, semisal menjual belikan emas secara kredit atau angsuran, maka hal tersebut melanggar persyaratan sehingga hukumnya secara syar’i adalah haram.

Namun terdapat pengecualian bagi keempat  barang  Ribawi  lainnya (Gandum, jewawut, garam, dan kurma) yang mana boleh dilakukan dengan cara tempo. Hal semacam ini terdapat hadits dari Aisyah r.a,


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

Artinya:
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya". (H.R. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603).

Dari hadits diatas dapat kita pahami bahwa   Rasul   S.A.W   pernah membeli  makanan terhadap seseorang secara utang akan tetapi disertai dengan agunan (Jaminan) atas makanan yang beliau pesan tersebut. Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa makanan yang dimaksud dalam hadits diatas termasuk dalam kategori barang Ribawi, berikut hadits yang dimaksud


اَلطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيْرُ

Artinya:
"Makanan  dengan  makanan  harus  semisal,  dan makanan  kami  pada  waktu  itu adalah  jewawut". (HR. Ahmad dan Muslim dari jalur Mu’ammar bin Abdullah)

Atas  dasar  itulah,  maka diperbolehkan bagi seseorang untuk menjual jenis-jenis barang Ribawi yang empat tersebut secara utang (kredit) namun harus dengan syarat disertai agunan atau jaminan suatu barang yang diserahkan kepada penjual sampai saat harganya disepakati pada waktu itu.

Berbicara mengenai penyerahan agunan dalam barang Ribawi, terdapat  sebuah pengecualian didalamnya, yakni jika antara pemberi utang dan orang yang mengutang saling percaya satu sama lain, maka tidak diwajibkan menggunakan agunan saat berutang.

Dalilnya adalah firman Allah SWT:


وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Artinya:
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".(Q.S. Al-Baqarah: 283).

Ayat diatas memberi pengertian bahwa agunan pada utang selama perjalanan, tidak diperlukan jika  orang  yang  berutang  dan  yang  memberi  utang saling percaya satu sama lain. Hal ini juga berlaku terhadap agunan pada pembelian secara kredit atas 4 jenis barang Ribawi lainnya yakni “gandum, jewawut, kurma dan garam”.

Atas dasar itu, maka boleh menjual jenis-jenis barang ribawi  yang empat  “gandum, jewawut, kurma dan garam” dengan uang secara kredit dengan disertai agunan untuk melunasi utang, atau tanpa agunan jika saling percaya satu sama lain. Hal semacam ini pada dasarnya memerlukan pembuktian dan kepercayaan, oleh karena itu hendaknya orang yang berutang dan orang yang memberi utang saling mengenal dengan baik dan keduanya saling percaya.

Dinyatakan dalam Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibn Baththal pada bab Syira’ Ath-tha’am ila ajalin (jual beli makanan  sampai  tempo  tertentu):

“Tidak  ada perbedaan pendapat di antara ahlul 'ilmi bahwa boleh menjual  makanan  dengan  harga  yang  jelas  sampai tempo yang jelas”.

Disebutkan juga dalam Al-Mughni oleh Ibn Qudamah dan beliau membicarakan tentang pengharaman jual beli 4 jenis-jenis barang Ribawi secara utang (kredit), Ibn Qudamah berkata: 

“Berbeda jika dijual dengan dirham atau (mata uang) lainnya dengan barang  yang  ditimbang  secara  tempo  (utang),  maka kebutuhan menuntut yang demikian”.

CONTOH JUAL BELI BARANG RIBAWI DAN KHILAF (PERBEDAAN PENDAPAT) PARA ULAMA

1. Apakah berlaku hukum Riba jika menukarkan antara satu Apel dengan dua Apel ?
Madzhab Hanafi dan Hanbali: Tidak berlaku hukum riba. Karena kedua apel tersebut bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran atau timbangan, namun dengan jumlah atau bilangan.

Madzhab Syafi’i: Hal tersebut berlaku hukum Riba, karena apel adalah makanan yang mana semua makanan masuk dalam kategori barang Ribawi. Dan akad tersebut harus mengikuti terhadap pedoman jual beli barang Ribawi diatas.

Menurut Madzhab Imam Malik: Penukaran tersebut tidak berlaku hukum Riba, karena apel bukanlah emas, perak maupun makanan pokok yang biasa disimpan dalam waktu yang lama.

2. Bagaimana jika satu sha’ gandum halus ditukar dengan dua sha’ gandum halus ?
Madzhab Hanafi dan Hanbali: Memberlakukan hukum riba, karena pertukaran terjadi pada barang yang biasa diukur dengan takaran.

Madzhab Syafii: Berlaku juga, karena pertukaran terjadi pada makanan.

Madzhab Maliki: Berlaku hukum Riba juga, karena pertukaran terjadi pada makanan pokok yang biasa disimpan dalam waktu yang lama.

Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah: Hal tersebut berlaku hukum Riba, karena pertukaran terjadi pada makanan yang umumnya diukur dengan takaran.

3. Lantas bagaimana jika satu kilogram besi ditukar dengan dua kilogram besi ? Bolehkah ?
Madzhab Hanafi dan Hanbali: Masuk kategori transaksi Ribawi karena besi termasuk barang yang mana pada umumnya diukur menggunakan timbangan.

Madzhab Syafi’i: Hal ini Tidak berlaku, karena besi bukanlah emas atau perak. Bukan pula makanan pokok yang biasanya disimpan.

Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah: Tidak belaku, karena 'illat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang ditakar atau ditimbang.

4. Satu pena ditukar dengan dua pena.
Madzhab Hanafi dan Hambali: Tidak berlaku hukum Riba, karena pena bukan termasuk barang yang pada umumnya diukur dengan takaran maupun timbangan akan tetapi  pena biasanya diukur dengan jumlah bilangan.

Madzhab Syafii: Senada dengan madzhab Hanafi dan Hambali. Karena bukan emas atau perak. Bukan pula berupa makanan. 'illat yang digunakan pada madzhab ini adalah statusnya sebagai makanan atau alat tukar.

Menurut Syaikul Islam: Tidak berlaku. Karena 'illat menurut beliau adalah alat tukar, makanan yang dapat ditimbang atau ditakar. Sedangkan pena tidak termasuk kategori seperti yang disebutkan.

Itulah tadi pembahasan mengenai berbagai macam barang-barang dan bahan makanan yang tergolong dalam kategori barang Ribawi. Diperlukan kehati-hatian bagi kita sebagai seorang Muslim saat kita melakukan transaksi yang berhubungan dengan barang Ribawi diatas. Islam telah mengatur semuanya dengan jelas dalam Nashnya, ini tidak lain karena Islam mengedepankan kemaslahatan umat dalam syariatnya. Semoga dapat bermanfaat dan menjadikan kita lebih waspada dalam bertransaksi. Barakallah.

0 comments:

Post a Comment